Sama halnya seperti anak berumur 16 tahun lainnya, biarpun suka menipu, aku punya seseorang yang kusukai. Well, anak-anak jaman sekarang (maksudnya aku) lebih suka menyebutnya dengan sebutan “crush”. Sejak kelas 1 SMP aku bersekolah di sekolah berbasis national plus ini, aku sudah menyukainya.
Hal itu berawal dari image baru yang kubuat. Demi mengerti perasaan temanku yang mengaku dirinya jelek, aku yang saat itu mulai belajar menggunakan make up dan bekerja sebagai model butik baru milik ibunya Yoru, menggunakan ilmu tersebut untuk membuat diriku tidak menarik. Mulai dari menggunakan wig panjang sepinggang berponi depan berwarna hitam pekat, lalu mengepangnya menjadi dua bagian, menggunakan kacamata dengan bingkai kuno, sampai membuat jerawat-jerawat palsu dengan make up (lihat betapa profesionalnya aku, haha!).
Meskipun aku sudah memasang image jelek, mengganti nama panggilanku menjadi Cienne (agar lebih mudah disebut), hingga berhasil membuat diriku dijauhi banyak orang, hanya crush ku yang masih mau berinteraksi denganku. Ia bahkan sadar akan keberadaanku yang kurang disadari oleh murid lain.
Entahlah, merasa dianggap ada itu membuatku jadi menyukainya.
Yah, asal kalian tahu, ciri-ciri crushku sama sekali berbeda 180 derajat dari ciri-ciri crush idealku. Dia tidak tinggi, maksudku kalau dibandingkan dengan tinggiku yang sekitar 164 cm tetapi suka mengenakan high heels minimal 7 cm, dia termasuk pendek (bahkan meski ia sudah menginjak SMA). Tahu maksudku kan? Intinya kalau aku mengenakan high heels, dia jadi lebih pendek dariku. Selain itu, umurnya lebih muda dariku beberapa bulan. Memang badannya termasuk dalam kategori atletis, tetapi sayangnya dia tidak jago bermain basket, dan tidak begitu populer.
PLAAAK!
Suara tamparan yang cukup keras tiba-tiba menyadarkanku dari lamunanku mengenai crushku.
Ah, aku baru sadar kalau sejak tadi aku sedang memandangi crushku yang sedang asik bermain sepak bola sambil duduk-duduk di bangku yang terletak di tepi lapangan. Ngomong-ngomong suara tamparan siapa itu tadi?
Aku pun mengalihkan padanganku dari lapangan sepak bola, menuju sumber suara yang ternyata ada di dekat ruang ganti yang sepi. Makhlum, berhubung di sebelah lapangan sepak bola terdapat lapangan basket dan voli, pihak sekolah sengaja membangun ruang ganti di dekat situ agar dapat memudahkan jika ada pertandingan.
Pelan-pelan, aku pun beranjak dari dudukku dan pergi ke sumber suara. Ketika aku baru berjalan sedikit, dari tempatku aku bisa melihat beberapa perempuan sedang berkumpul. 3 orang perempuan sedang mendorong-dorong sekaligus memukul seseorang.
Ya ampun.
Jaman sekarang bullying makin marak ya? Meski sudah banyak artikel-artikel dan berita tentang kasus bullying, apa masih kurang jumlah kasusnya sehingga perlu dilakukan di sekolah ini juga? Jujur aku tidak pernah bisa mengerti kenapa seseorang bisa menindas orang lain. Bagiku orang-orang seperti mereka memiliki mental yang super lemah. Bagaimana tidak lemah? Mereka suka menyakiti orang lain, tapi tidak mau disakiti.
Seperti biasa, sebelum bertindak aku pun mengamati situasi dan kondisi yang ada terlebih dahulu. Kalau tidak salah ingat, perempuan yang sedang ditindas itu satu kelas denganku, dan ini bukan pertama kalinya aku melihatnya ditindas. Well, ini yang terparah, sebelumnya aku hanya melihat bahwa anak itu disuruh membelikan makanan untuk mereka. Waktu itu kupikir oknum tersebut (korban, maksudku) kalah taruhan atau semacamnya. Sama sekali tidak terpikir tentang bullying waktu itu.
Nah, sekarang apa yang sebaiknya kulakukan? Memanggil guru? Percuma, yang ada malah makin runyam dan korban akan makin tertindas diam-diam. Meminta tolong pada teman lain? Nah, tidak akan menyelesaikan apapun (karena tidak ada yang peduli). Masuk dalam kerumunan mereka dan mengehentikan mereka sambil berseru keras “Apa yang kalian lakukan?!”? Berdasarkan cerita-cerita yang selama ini kubaca dan lihat, yang ada korbannya akan bertambah menjadi dua. Hmmm, bagaimana kalau... mengubah target bully-an mereka? Membuat mereka hanya tertarik untuk menindas target baru (alias aku – memang siapa lagi yang mau sukarela jadi target penindasan?), sehingga orang lain tidak menjadi target mereka... Bukankah itu ide bagus? Toh, kalau soal tipu-menipu begitu tidak sulit bagiku.
Dengan rencana super spontan yang tiba-tiba muncul di otakku, aku pun segera berlari ke arah penjual minuman (yang kebetulan ada di dekat tempatku berada), dan membeli sebotol minuman bersoda yang berwarna merah. Sekilas aku melihat jam tanganku yang terpasang apik di pergelangan kiriku sambil menggumam, “Masih 17 menit lagi bel istirahat pertama berakhir. Kasihan sekali kalau si korban terus ditindas sampai bel berbunyi.”
Tanpa membuang waktu lagi, aku pun segera berlari pelan menuju tempat korban dan penindas-penindasnya berada, dan tanpa segan-segan menabrak para penindas sambil menumpahkan isi minuman yang baru saja kubeli. Well, asal tahu saja, aku punya bakat yang luar biasa dalam akting. Namanya juga hobi menipu. Jelas, akting adalah bekal utamaku untuk menipu orang lain, kan?
“Aduuuuuuh, sakiiiit...” rintihku pelan sambil mengusap lututku yang terkena tanah.
Setelah berhasil membuat ketiga penindas itu terjatuh, aku pun segera menjatuhkan diri. Tentu saja aku membuat adegan terjatuhku tampak begitu natural.