Serpihan kaca bertebaran di lantai marmer gelap di dalam Mansion mewah keluarga Weston. Lampu kristal yang menggantung indah selama ini tergelatak tidak bernilai di tengah-tengah ruangan. Ruangan megah nan nyaman ini berubah menjadi neraka dalam sekejap.
Aurora, putri tunggal pasangan Brayden dan Camila Weston berdiri pucat pasi di tengah ruangan. Darah mengering di sudut pipi kanannya. Memar terlukis jelas di area siku kanan ke atas. Mungkin punggungnya juga, tetapi saat ini gaun putih rancangan desainer ternama yang kini berlepotan darah membalut.
Dadanya masih naik turun, kaki ramping dan jenjang masih bergetar. Sekujur tubuhnya seolah habis diremuk tangan raksasa. Bukan, bukan hanya tubuhnya yang berdandankan luka, tetapi hatinya juga.
Sulit sekali melihat Ayahnya, Brayden Weston yang selama ini dipuja dan dihormati orang banyak, berlutut di depan seorang pria berperut buncit seperti wanita hamil sembilan bulan, dengan kepala mengkilap dan kumis tipis juga bersuara cempreng.
Ayahnya yang selama ini terlihat perkasa di mata Aurora, memohon dan menangis di depan para berandalan yang sudah mengacaukan rumah ini. Di sisi lain, Ibunya menangis tidak berdaya.
Harusnya hari ini, di ulang tahunnya yang ke dua satu, Aurora melihat kebahagiaan, bukan kehancuran yang membakar matanya. Dia baru saja pulang berbelanja segala keperluan untuk pesta nanti malam. Saat dia pulang, dia melihat ada sekitar lima mobil asing terparkir sembarangan di depan Mansion. Para penjaga di gerbang depan, tergeletak lemas dalam pos jaga. Ada banyak mobil yang kerap kali terparkir di halaman, dan Aurora sangat mengenal baik tamu-tamu keluarga mereka. Tidak pernah ada mobil jeep hitam sebelumnya.
Aurora bergegas turun dari mobil Ferari berwarna merah, hadiah ulang tahunnya yang ke tuju belas. Tanpa menutup pintu atau sekedar mencabut kunci mobilnya, dia berlari tergesa-gesa ke dalam Mansion.
"Jangan, Nona Aurora!" teriakkan penjaga yang babak belur di depan pintu terlambat mencegah kakinya.
Saat dia memasuki ruangan utama, pemandangan itu terlihat. Sekelompok orang yang sebagian besar adalah laki-laki dan seorang wanita dalam balutan busana serba hitam menyambutnya dalam keheningan. Wajah mereka serius, sehingga Aurora kehilangan kata. Ayahnya bertekuk lutut dan Ibunya merikuk jauh di sudut ruangan.
"Owh, kau datang tepat waktu, Sayang," seorang pria berambut tipis menyambutnya dengan senyuman lebar. Dalam kesunyian suaranya menggema.
"Aurora," rintih sang ayah. "Harusnya kau tidak datang kemari!"
"Xavier, buat gadis itu bertekuk lutut!"
"Rayden!" Mohon Brayden, "kau boleh menyakitiku, asal jangan menyentuh Puteriku!"
Rayden, si pria di depan Ayah Aurora mengelus dagunya. "Aku tidak ingin melakukan ini sebenarnya, bukan begitu Xavier?"