Fake World

Springkel9
Chapter #9

Prisoner Of Fear

Brayden Weston menutup wajahnya dengan telapak tangan, sementara kedua kakinya bergerak mondar-mandir di depan Zacuzzi. Sesekali, entakkan kasar tumit sepatunya bersuara kasar. Botol Wine baru saja dia ambil dari gudang penyimpanan sudah tandas setengah. Seloki tampak tidak bisa memainkan peran sekarang, Brayden meneguknya langsung dari botol.


“Shit!” teriaknya nyaring. Tanganya melayang menghantam sebuah vas bunga kaca di atas meja bundar dari kayu jati. Benda malang itu jatuh membentur lantai, berdentum nyaring dan pecah hingga kecantikannya tidak lagi tersisa.


“Brayden, kau tolol!” serunya nyaring. Dia sadar akan sesuatu, kedatangan Rayden yang terlalu mendadak sudah menghilangkan akal sehatnya, lalu lintas pikirannya ikut tersendat. Ketakutan mengusai kepala, dan juga membekukan darahnya.


“Rayden mengenalku dengan sangat baik,” desisnya kemudian. Kedua tanganya mengepal. Rahang lelaki tua itu mengeras, bibir pucat dan kering terkulum, seluruh wajahnya dipenuhi rona merah, warna kemarahan yang meluap dari dalam hatinya. “Tidak, Brayden, jangan biarkan dia melumpuhkan otakmu! Jangan biarkan dia menginjak kepalamu. Pikirkan, dia memang menolongmu dulu, tetapi sekarang semua sudah berubah. Apa yang terpajang di depan mataku sekarang adalah apa yang aku bangun dengan keringatku sendiri, bukan urusannya. Aku bukan kalangan bawah tanah terkutuk seperti dia lagi!"

“Brayden!” panggilan Camila membuat embusan napas Brayden tertahan.

Dia menoleh ke dalam melihat bayangan istrinya. Wanita itu tampak luar biasa kusut. Rambut cokelat di kepalanya senantiasa tertata kini seperti sarang burung. Wajah sayu yang sudah diberi suntikan botox agar kerutan menghilang kini lebih mirip tisu sekali pakai.


Brayden membersihkan tenggorokannya, sembari membetulkan letak dasinya yang miring. Dia hanya menatap Camila dengan tatapan tanya, malas bersuara.


“Ada sebuah mobil yang meledak di tepi pantai!” suara Camila memburu, di matanya tumbuh gelembung kaca.


“Apa hubungannya dengan kita? Rayden tidak melakukan tindakan bodoh, kau tahu itu!”


“Bukan, bukan tentang dia ....”


“Kau tahu, Camila, aku sedang tidak ingin membicarakan hal lain!”


“Jordan!”


“Jordan?” Nama itu seolah lenyap dari kepalanya hingga dia harus membongkar kotak ingatannya. “Grayson! Anak muda sialan yang tidak tahu sopan santun itu?”


“Ya, Brayden. Dia ada di sana. Ledakan itu terjadi tepat saat dia tiba.”


“Sudah, biarkan saja mati!” sungut Brayden, dia sendiri dalam bahaya tidak ada gunanya memikirkan orang lain. pria angkuh itu memang layak untuk mati.


“Kau tidak memikirkan keadaannya?” tanya Camila. Istrinya jatuh lemas di kursi rotan dengan bantal dari kain beludru hijau gelap.


Mata Brayden mengecil, bibirnya menyunggingkan senyuman tipis. Dia menyambar botol Wine di meja hendak meneguknya sampai habis, hingga kesadarannya hilang sementara waktu.


Lihat selengkapnya