Fake World

Springkel9
Chapter #10

Is This The End

Pengap, lembab, dan juga aroma pesing yang sesekali membaui udara terbawa angin melalui lubang di dinding membuat perut Aurora bergejolak. Gelombang cepat naik dari lambung, mendendangkan nyeri di dada, naik ke leher menyekatnya sesaat sebelum tumpah ruah ke atas lantai.


Seekor tikus abu-abu bermata besar dan kurus mengintai dari sudut, tempat sebuah lubang berada. Muntahan Aurora menjadi makanan untuknya.

Sekali lagi Aurora memuntahkan isi perut. Sekarang secuil pun tenaga tidak tertinggal di dalam tubuh. tangan kananya meraba dinding, secepat itu ditariknya. Dinding ini dingin dan licin, saat dilihat dinding ditumbuhi berbagai macam lumut.


Cahaya di dalam ruangan ini sepenuhnya berasal dari luar, hanya ada gantungan tanpa lampu di atas kepalanya, dan jika malam ini dia masih berada di dalam ruangan ini, dia bisa-bisa mati ketakutan.

Dengan napas terengah, Aurora mendekati pintu sel tahananya, perlahan menurunkan tubuhnya, duduk bersandar. Perlahan ditariknya kaki bergantian, melepaskan sepatu. Tumit kakinya sekarang memerah, sedikit tergores.


Kepala Aurora terkulai lemas ke arah besi dingin. Aroma besi karat seketika terhirup. Perutnya kembali bergejolak. Aurora menekan kepalanya kuat-kuat, dan berteriak.


Harapan sudah mati, mungkin jiwanya sebentar lagi.

Suara pintu terbuka di atas sana menggema di dalam ruangan hingga telinga Aurora berdegung sakit. Sebelum tanganya menutup telinga suara itu sudah menghilang digantikan oleh langkah kaki, kedengaran seperti setengah berlari.


Kepala Aurora mulai membayangkan sosok menakutkan macam apa yang akan menampakkan wajah di depannya. Di rumah, Aurora menghafal dengan baik setiap nada langkah kaki, ia rindu ingin segera pulang, memeluk ibunya, dimanjakan Ayahnya. Andai kata kesempatan itu biasa dia dapatkan kembali, seharian dia akan membersihkan tubuh, jangan sampai setitik pun debu dari tempat keji ini tertinggal di tubuhnya.


“Are you, ok?”


Suara cempreng dan ringan membuat Aurora berbalik. Sosok anak kecil, berdiri di seberang jeruji.

Perawakannya terlihat ramah, kulitnya hitam dan berlapis debu di bagian kaki. Dia tersenyum, dua gigi depannya tidak ada di sana, matanya biru tua dan begitu cemerlang.


“Bantu aku keluar dari sini!” mohon Aurora dalam suara serak. Secuil harapan mengetuk hatinya hingga berdebar jauh lebih kencang.


“Shut up, bitch!” bentak bocah laki-laki itu.

Tubuh Aurora seketika bergidik. Anak kecil berwajah polos seperti itu mengatinya jalang. Aura mengerjapkan matanya berulang kali, berharap penampakan di sana adalah kesalahan matanya atau pikirannya yang kelelahan.


“So, why you here?” tanya Aurora saat tahu, baik mata dan kepalanya meski dalam keadaan tertekan tidak salah memproses sosok di depannya.


“Aku harap peluruku bisa berguna, kau tahu aku sudah berlatih menggunakan pistol saat usiaku delapan tahun, tapi sampai sekarang saat usiaku dua belas tahun, aku hanya diperolehkan menembak botol bekas minuman mereka, itu pun tidak boleh lebih dari lima. Menyebalkan! Aku kemari untuk memberikanmu ini!” Si bocah meletakan botol air di lantai.


Jika mau berusaha, Aurora akan dengan mudah menjangkaunya, untuk sekarang semangat berusaha tidak muncul. Dengan lemas, dia menggerakkan jarinya perlahan, merasakan tebalnya debu di lantai. Satu inci lagi, airnya bisa dia jangkau. Kuku cantiknya gagal mencapai botol.


“Well, i will help you!”


Ucapan itu membuat Aurora merasa lebih baik, saat itu juga lidahnya seolah tengah mengecap air, sensasi menyegarkan membasahi tenggorokan.

Si bocah mulai membuka botol air. Dia tidak mengulurkannya pada Aurora melainkan menyiramkan isi botol hingga wajahnya.

Aurora ingin sekali berteriak kencang. Air yang menuruni kepalanya mulai membasahi baju.


Tawa si bocah pecah. “Mereka mengatakan padaku untuk melakukan hal yang lebih buruk. Ah, tadi aku mendengar sesuatu, mungkin akan membuatmu lebih baik.” Anak kecil itu duduk di depan Aurora, dia menutup lagi botol air yang tersisa setengah, lalu mengulurkannya ke tempat yang sangat mudah di jangkau.


“Apa?” Aurora tidak ingin tahu sebenarnya, tetapi dia melihat antusias luar biasa di wajah bocah itu. Perlahan dia mengusap sisa air yang membasahi wajahnya.


“Jordan Grayson, kau mengenalnya?”


“Kenapa?”


Lihat selengkapnya