Xavier jengah dengan sikap Rayden yang selalu saja melebih-melebihkan keadaan. Meggan yang lenyap bak air yang terisap di wastafel juga memicu kebosanan di dalam ruangan yang riuh redam, memekkan telinga. Mereka semua pria dewasa bersuara berat. Tahun lalu, Meggan dengan bodohnya mengusulkan membentuk kelompok paduan suara dan mendaftarkan diri ke ajang bakat bergengsi yang disaksikan oleh seluruh dunia, mereka nyaris menembak kepalanya saat itu.
Vodka dan semua menu di atas meja bahkan tidak mampu mengatasi kekosongan kepala Xavier. Dia berjalan ke luar, di depan kolam berenang besar yang mampu menampung lima puluh orang sekaligus. Rayden itu norak, juga tukang pamer. Xavier sewaktu masih kecil sering merasa malu melihat keangkuhan Ayahnya.
Langit gelap tanpa bintang, panasnya udara siang hari hanya menurun sedikit. Rasanya Xavier ingin menceburkan diri saja ke dalam air, tetapi dia sedang malas menggerakkan tubuhnya sekarang. Dia berdiri di tepi kolam, bayangan wajah tampannya terpantul di sana. Tato naga yang meliliti leher hingga ke bagian bawah dagu adalah satu dari sekian banyak tato favorit di seluruh tubuhnya. Dia ingin lebih, menjadikan wajahnya sebagai kanvas. Namun, penolakan datang dari mana-mana, bahkan Lucien yang tidak ingin dia dengarkan suaranya.
"Aurora," nama gadis itu melintas begitu saja di kepalanya. "Apa dia baik-baik saja?" gumam Xavier, meski saat itu jawaban segera terlintas. Gadis bertipikal seperti dia, saat ini jelas tengah merikuk, dan menangis.
"Sebaiknya aku lihat, jangan sampai dia memenggal kepalanya sendiri.
Xavier membalik tubuhnya, dia malas sekali untuk masuk lagi ke dalam rumah. Dia memilih memutar saja, melewati deretan tanaman raksasa yang dipiara sendiri oleh Rayden atau dirawat oleh Lucien saat suasana hatinya sedang baik, dia benar-benar akan memperlakukan mereka seperti bayi.
Dua ekor anjing Great Dane hitam tengah tidur di pintu samping. Xavier memelankan langkah kakinya, jangan sampai terbangun dan dia akan menghabiskan beberapa menit untuk bermain dengan mereka. Besar dan terkesan menakutkan, tetapi memiliki jiwa yang sangat lembut juga penyayang . Dia mirip mereka kata Rayden.
Mata si anjing hitam lebih dahulu membuka dan sontak bangun dan menggerakkan ekor. Mereka memang piaraan Lucien, tetapi mengabaikan bukan pilihan.
"Dinner time, fella! Kitchen!" usir Xavier halus.
Kedua binatang berbulu itu segera menyerobot masuk.
Xavier segera menuju mobilnya, chrysler 300, hitam di dekat gerbang, bagian depan menghadap ke luar. Aturan Rayden, jika ada keadaan darurat tiba-tiba mereka langsung tancap gas saja.
Xavier menyalakan mesin dan melaju perlahan. Keheningan malam yang dia nikmati tanpa suara Meggan.
"Shit!" desisnya, sembari mengambil ponsel. Mungkin Meggan pergi karena Aurora sudah menghancurkan kamar peristirahatannya di markas. Suara operator seluler yang menjawab.
Mobilnya melaju lamban di jalanan beraspal, yang diapit padang rumput cokelat tinggi, kegelapan membuat tempat itu menjadi lokasi tindak kriminal paling amat. Kuburan masal untuk musuh kelompok mereka.
Pada akhirnya dia tahu, Aurora akan meregang nyawa juga. Utang Brayden memang tidak sebegitu banyak dan tidak akan mempengaruhi keuangan Rayden saat ini. Namun, satu hal yang selalu dia tagih adalah utang janji. Entah janji apa di masa lalu mereka, Rayden tidak memberi tahu siapa pun. Menjalani hubungan dengan Rayden sama saja dengan menuliskan nama di buku iblis, siap melakukan apa pun yang diutarakan oleh mulutnya sekalipun hanya lelucon bodoh.