“Some masterpieces are not created in perfection...
but in the act of falling—again, and again—while still choosing to play.”
— Fall Down Art
“This is a special announcement for passengers bound for Amsterdam, Netherlands, on Flight ZA 209...”
Suara wanita di pengeras suara itu berdengung seperti nyanyian kematian. Aku mengangkat kepala, mendengarnya tanpa minat.
“...the departure of this flight is delayed due to weather conditions...”
Apa?
Delay?
Aku mendesis pelan. Satu tangan menarik koper besar dengan kasar, tangan lainnya berusaha memasang kamera di leher sebelum benda tua itu jatuh dan pecah jadi sejarah.
Sial. Ini baru awal.
Check-in selesai. Dengan wajah datar setengah kesal setengah bosan, aku melemparkan tubuh ke kursi ruang tunggu. Kamera analog ku—yang sudah cukup tua untuk disimpan di museum—ada di pangkuan. Aku putar tombol zoom-nya, memotret sekeliling. Bukan karena aku suka dengan semua object disini. Tapi karena ini satu-satunya cara membunuh waktu tanpa harus bicara dengan siapa pun.
Pantulan diriku sendiri muncul di kaca jendela.
Rambut acak-acakan, jaket setengah keluar dari ransel yang ku sumpal paksa, kaos hitam dan celana jeans hitam yang mulai lusuh. Kamera di tangan kananku seperti benda yang menempel secara alami.
Terdiam cukup lama, menimang-nimang apakah aku harus mengambil gambar di depanku ini atau tidak. Aku membidik diriku sendiri.
Cekrek.
Lalu beralih ke wanita tua di sebelah, menguap dengan mata separuh terbuka.
Cekrek.
Beralih lagi ke ibu muda berbahasa Perancis yang sedang merangkul anaknya sambil menelepon di sisi satunya.
Cekrek.