“Welkom in ons kasteel!”
Aku tidak tahu apakah pria tua itu menyapaku atau sedang kerasukan burung gagak. Tapi volume suaranya cukup untuk membangunkan nenek moyang Van Gogh.
Dia berdiri di depan pintu utama Ambach’s Institute—kampus seni yang katanya “paling terkemuka di Elensweld” tapi lebih mirip kastil tua yang hobi menelan mahasiswa aneh-aneh.
Pria itu—rambut putih menyembur dari sisi kepalanya, dengan mata hijau bening seperti batu akik yang sudah tua—mengangkat tangan seperti konduktor simfoni.
“Ik heet Vredick Bass!"
"Welkom!"
Vredick. Namanya terdengar seperti tokoh opera. Tapi di dadanya tersemat pin kecil berbentuk pensil bersilang—lambang pengajar di akademi ini. Aku melihat itu saat pertama kali mendaftar. Semua pengajar memakainya.
“Hey, kau!” teriaknya lagi.
Aku mengerjap. Dia menunjuk langsung ke arahku.
“Kau jurusan Seni Rupa?”
“Ja,” jawabku datar, mengangguk.
“Kemari, nak. Asrama mu di sini!”
Tentu saja. Di tengah ratusan mahasiswa yang masih mondar-mandir seperti burung dara di pelataran gereja tua, aku diseret oleh pria tua yang terlalu bersemangat.
Aku Menyeret koper ku yang setengah rusak dan kamera yang kutaruh dengan hati-hati di dalam ransel, mengikuti Vredick-Bass melewati jembatan batu besar yang menghubungkan kastil dengan area asrama. Tampaknya Vredick Bass sudah menyeret korban-korban lainnya selain aku. Mereka semua sama, membawa koper besar dan mengenakan pin yang dibagikan di depan gerbang tadi—pin bergambar burung merak yang melambangkan jurusan akademi seni rupa.
Jembatan itu... gila.
Lebarnya cukup buat dilewati gajah beriringan. Batu-batunya tua dan kasar, dengan ukiran yang seolah dibuat oleh orang yang terlalu banyak waktu luang. Di sisi kiri dan kanan, ada sungai kecil dan deretan pepohonan tinggi yang membingkai bangunan seperti lukisan Renaissance.
"Ini namanya Brug van Harmonie," kata Vredick Bass bangga, menunjuk ke jembatan. "Jembatan harmoni. Karena dua asrama yang dihubungkan ini harus belajar hidup berdampingan."
Aku menggumam pelan. Harmoni? Ironis, mengingat aku datang ke sini justru untuk menghindari manusia.
**
Asramaku berada di sisi barat. Sebuah menara besar empat lantai dengan dinding batu pualam kelabu dan jendela tinggi yang seolah mengawasi dunia dari atas.
Aku menatap ke arah menara lain di kejauhan. Bangunannya lebih besar. Atapnya menjulang, dan aku bisa mendengar samar-samar suara alat musik... piano? Violin? Entahlah. Semuanya terdengar seperti kebisingan yang menyamar sebagai keindahan.
"Apa itu?" tanyaku pada Vredick Bass. Aku menunjuk dengan dagu.
“Itu? Asrama Musik,” jawabnya cepat, lalu matanya menyala. “Tempat untuk mereka yang mempelajari Violin, Oboe, Harpa, Piano. Kau suka piano?”
Aku menggeleng. “Tidak terlalu.”
“Sayang sekali.” katanya, jelas kecewa. “Kapan-kapan kau harus dengar permainan Mevrouw Suze. Permainan pianonya nyaris sempurna.” Dia lalu mengangkat tangannya ke udara, seolah sedang memainkan tuts tak terlihat.
Aku hanya menatap. Tidak berkata apa-apa. Tangan tuanya gemetar sedikit saat ‘bermain’. Dan aku tahu... di balik semua semangatnya, pria itu sedang bicara tentang cinta lama.
Kamarku berada di lantai dua, sayap barat menara. Ruangan itu... semacam kekacauan yang diatur oleh arsitek eksentrik.
Empat kasur. Empat meja belajar. Empat dunia.
Langit-langit tinggi, jendela besar dengan tirai tua yang baunya seperti lemari nenek-nenek. Tapi ada cahaya. Banyak cahaya.
Dan aku butuh itu.
Cahaya membantu menyamarkan pikiran-pikiran yang kusimpan terlalu dalam.
“YO!”
Seseorang menyapaku dengan suara nyaring seperti drum marching band.
Seorang pria bertubuh tinggi, kulit sawo matang, rambut gimbal kecil diikat ke belakang, muncul dari balik lemari. Di tangannya ada kuas cat, dan di mejanya... patung kepala yang dilukis dengan motif tribal.
“Kau Rui, ya? Aku Nacho! Tapi Panggil aja Luis. Aku dari negara selatan, bro. Kayaknya kita bakal satu ranjang—eh, satu kamar—HAHA.”