Aku memutar gantungan kecil itu di bawah cahaya matahari. Cahayanya menari di atas rumput seperti kilau luka yang belum sembuh.
Boneka kelinci kecil. Dengan pita merah kotak-kotak di dadanya. Gantungan logamnya kini tinggal setengah lingkaran. Benda remeh. Tapi jari-jariku tidak berhenti mengelus bagian yang retak.
Kenapa aku masih menyimpannya?
Aku tidak tahu.
Aku duduk menyendiri. Jam pelajaran pertama sudah mulai. Aku membolos. Karena aku ingin diam. Karena aku ingin menjauh. Karena aku... tidak tahu untuk apa aku di sini.
Sekali lagi aku bertanya pada diriku sendiri. Untuk apa aku di sini? Untuk melarikan diri dari masa laluku? Aku tak ingin menjadi seorang pengecut. Berbagai ingatan masa lalu mulai menghantui.
Dengan segera aku mengusirnya.
Aku menunduk.
Kameraku ada di pangkuan. Tapi aku tidak ingin melihat dunia hari ini. Aku ingin dunia menunduk balik padaku—dan diam saja.
Lalu aku mendengar suara.
Air. Dan...
“Dimana... Dimana... Dimanaaaaa...”
Suara perempuan. Suara itu sangat familiar. Aku berdiri, mengikuti arah suara ke belakang kastil, ke pinggir sungai kecil yang mengalir malas.
Dan di sana dia.
Isabelle.
Berdiri di aliran dangkal, sepatu dan rok bawahnya basah.
Ia membungkuk, mengaduk-aduk air dengan tangan, matanya penuh cemas seperti kehilangan dunia.
“Rui?”