Isabelle Schubert
Darahnya Rui.
Darah di tanganku.
Darah di air. Dan di kepalanya. Dibalik rambut hitamnya yang cantik.
Aku tidak suka warna merah. Merah itu... warna berisik. Tapi kali ini, aku tidak sempat memikirkan warnanya. Karena Rui tidak bergerak. Dan aku takut kalau... tubuhnya berhenti bergerak selamanya.
“Rui! Rui!!”
Aku panik. Seperti lembar partitur yang tertiup angin dan aku tidak sempat menghafalnya. Aku mencoba menyeret tubuhnya. Berat. Kenapa tubuh manusia bisa seberat ini kalau pingsan?
“Kau... kau... kau harus hidup.”
“Tolonglah.. Jangan mati.”
Aku tidak tahu kenapa aku bilang begitu. Mungkin karena aku takut. Mungkin karena aku benar-benar ingin dia bangun. Atau... mungkin karena itu terdengar seperti kalimat yang seharusnya ada di buku cerita.
Aku menyeretnya ke tepian. Sungainya tidak deras. Untung.
Tapi darahnya Rui... masih keluar. Dan itu bukan adegan drama. Itu bukan teater. Itu benar-benar keluar dan menempel di kulitku dan aku ingin menangis.
“Tolong...”
Aku berlari—tanpa sepatu. Kakiku menyentuh kerikil, tapi aku tidak peduli. Aku harus menemukan seseorang. Siapa pun. Aku tidak suka keramaian. Tapi kali ini aku butuh keramaian. Lalu aku melihat, orang-orang yang sedang berlatih drama tadi terkejut mendengar ku berteriak panik.
“Ada apa?” Sepertinya mereka lebih kaget lagi melihat tangan dan bajuku yang bersimbah darah. Darah Rui.
“Sungai... Rui... jatuh... darah... kepala...”
Lalu semuanya jadi hitam. Aku tak tahu apa yang terjadi setelahnya.
**
Aku terbangun di tempat asing. Bukan, ini kamarku. Tapi rasanya aneh.
Ada suara lembut.
“Isabelle? Kau sudah sadar, nak?”
Aku rindu ibuku. Tapi ini bukan ibuku. Ini Mevrouw Liliane. Si wakil rektor institute. Tangan nya terasa lembut dan hangat di tanganku. Ia menggenggamnya erat. Aku semakin rindu ibu.
“Dimana Rui? Ia ... ia terjatuh. D-dan kepalanya berdarah sangat banyak.” Aku merasakan suaraku terbata dan tanganku kembali gemetar.
“Ia belum sadar, tapi stabil. Kepala terbentur cukup keras.”
Otakku kosong beberapa detik. Mevrouw Lilane mencoba menenangkan.
Lalu aku duduk. Lalu berdiri. Masih tanpa alas kaki, dengan panik aku berlari lagi.
“Isabelle!!” Aku mendengar teriakan khawatir Mevrouw Liliane, tapi berusaha mengabaikannya.
Aku membanting pintu rumah sakit, jantung berdegup kencang seperti drum perang. Di sana, Rui terbaring tak sadarkan diri di ranjang putih, dikelilingi oleh sosok-sosok asing—mungkin teman-temannya, atau orang-orang yang tidak kukenal. Aku berdiri di sana, merasa seperti sosok paling aneh, hanya mengenakan gaun tidur lusuh dan tanpa alas kaki. Nafas ku tersengal-sengal, mata semua orang tertuju padaku.
“Kau siapa?” tanya seorang pemuda bermata sipit dengan kulit pucat seperti porselen, rambut berwarna perak menggantung seleher nya. Suaranya tenang, tapi penuh waspada.
Aku terdiam, bisu membeku.
Kemudian, mataku tertuju pada Rui—matanya perlahan terbuka, seperti bunga yang mekar di pagi yang dingin.
“Ahhh!” suaraku tercekat, tangan tanpa sadar menunjuk ke arahnya.