Aku tidak masuk kelas musik hari ini. Lagi. Aku hanya... tidak bisa. Tidak hari ini. Karena seseorang.
Rui.
Rui Rachmaninoff. Mahasiswa baru jurusan seni rupa, tinggi seperti tiang gantungan, tatapan seperti mau mencakar orang, dan sekarang... penguntit pribadi-ku. Sejak insiden di sungai itu, dia mengikutiku seperti... suara metronome yang tidak bisa dimatikan. Tiba-tiba muncul di depan pintu, di balik rak buku, bahkan... di luar jendela ruang latihan. Aku yakin dia tidak punya jadwal kuliah, atau mungkin dia tidak butuh yang namanya kehidupan normal.
Aku mencoba melarikan diri. Pertama, ke ruang laundry bawah tanah, tempat di mana seragam-seragam seni tari digantung seperti hantu. Aman. Sampai aku mendengar suara familiar:
"Jangan sentuh deterjennya. Itu khusus kostum opera. Kulitmu bisa iritasi."
Aku menjatuhkan botol sabun. Rui berdiri di pojok ruangan dengan tenang. Seperti sedang menunggu giliran cuci baju. APA DIA MENGIKUTI AKU DARI PAGI?
Kedua, ke rooftop gedung teori musik. Angin berhembus kencang. Aku menarik nafas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri sambil menekan-nekan udara seperti sedang memainkan tuts piano khayalan.
Lalu terdengar langkah kaki. Pelan. Teratur.
"Kau bisa masuk angin. Aku bawa syal, kalau kau mau."
Rui. Lagi.
Ketiga, ruang penyimpanan alat teater di lantai bawah tanah—ruangan yang jarang dipakai, penuh kostum lama dan topeng-topeng rusak dari pertunjukan terdahulu. Baunya seperti lem tua dan cat kayu. Aku masuk diam-diam, duduk di bawah rak wig yang sudah kusut. Aman. Sunyi.
Lalu, suara pintu berdecit. Aku menahan napas.
"Kostum Harlequin itu mengerikan ya. Tapi katanya bisa membuatmu tampak seperti badut tersesat di mimpi buruk."
Aku hampir menjerit. Rui berdiri di ambang pintu, menatap topeng badut dengan ekspresi tenang seolah sedang menilai lukisan abstrak.
AKU INGIN MENGHILANG DARI DIMENSI INI.
AKU INGIN MATI SAJA.
Aku berlari keluar dari ruang penyimpanan alat teater, nafasku tidak beraturan. Ruangan itu terlalu sunyi, terlalu penuh dengan bayangan dan debu yang mengingatkanku pada hal-hal yang tidak nyaman. Aku hanya ingin udara. Tempat terbuka. Tempat tanpa dia.
Aku menyusuri lorong sempit di belakang dapur akademi—lorong yang biasanya hanya dilewati trolley makanan dan anak-anak magang yang nyasar. Di sinilah biasanya aku bisa tenang.
Aku berhenti. Menoleh.
Dia ada di sana. Lagi. Aku heran apakah dia bisa berteleportasi?
"KAU!"
Rui berhenti. Diam.
"B-B-Bisakah kau berhenti mengikutiku?!"
Suaraku terdengar tinggi. Seperti peluit piccolo.
Dia tidak menjawab langsung. Matanya serius. Tapi ekspresinya datar. Menakutkan.
"Maaf. Aku tidak bisa."
Aku menarik napas, mencoba bicara dengan perlahan. Karena dokterku pernah bilang, kalau aku panik, ucapanku akan berantakan dan orang akan tambah bingung. Tapi sulit. Sangat sulit.
"Kau... kau benar-benar tidak ingat apa pun, ya?"
"Aku rasa aku tidak melupakan apa pun."
Aku menatapnya. Dia tidak bercanda. Kalimatnya rapi, seperti kutipan buku manual musik. Aku mengedip pelan. Tanganku mulai bergerak sendiri di udara, mengetuk-ngetuk irama tak terlihat. Aku gugup. Itu refleksku.
"Apa yang ada di kepalamu sekarang?"
Dia menatapku. "Kau adalah Tuanku. Dan aku... malaikat penjagamu."
Aku membeku. Apakah seseorang bisa mati konyol setelah mendengar kalimat konyol?
"Dengar Rui.. kau salah. Aku bukan siapa-siapa. Kita bahkan tidak akrab. Bahkan... kau dulu—"
"Membencimu?"