Fall Down Art

Elaris Septembre
Chapter #7

Partiture Six - Schubert

Aku terus berlari menyusuri koridor, melewati halaman kastil asrama. Tanpa sadar menuju sungai kecil di dekat pepohonan di belakang kastil institut.

Tersengal-sengal. Aku berhenti. Lalu duduk di sebuah batu besar. Ini tempat favoritku. Ini tempat persembunyianku. Tidak akan ada yang melihatku kan?

“Hhaaaaah!!! Ibu…” Aku mulai menumpahkan tangisanku, merengek seperti anak kecil yang kehilangan ibunya. Emosiku tidak terkontrol. Aku membenamkan kedua wajahku di atas lutut. Terduduk di pinggir sungai.

Lima belas menit berlalu. Aku menghitung dalam hati. Tangisku mulai mereda. Kini aku bisa mendengarkan gemericik air sungai yang menenangkan.

“Kau sudah selesai menangis?” Sebuah suara tiba-tiba mengagetkanku. Ya Tuhan! Jantungku nyaris melompat ke sungai. Aku mengangkat wajahku, dan seseorang seperti pangeran di buku-buku cerita yang biasa dibacakan ibuku, berjongkok di seberangku. Kedua tangannya menopang di dagu.

Wajahnya membentuk siluet ramping dan tampan. Kulit wajahnya seperti buah peach—buah kesukaanku, berwarna putih dengan semburat kemerahan di pipinya karena terbakar sinar matahari. Rambutnya berwarna keperakan, ya perak. Apa murid boleh mengecat rambut di institut?

Ia tersenyum.

“Ada apa?”

Aku terdiam. Bibirku terlalu takut untuk menjawab.

Ia lalu bangkit berdiri. Berjalan menyeberangi sungai dangkal itu, menghampiriku. Aku baru menyadari ia membawa sebuah Violin.

Itu... G504. Seri terbaru dan termahal.

Kilau barnish-nya terlalu hangat untuk jadi baru. Maple tua, mungkin Balkan. Pola flame-nya simetris—terlalu sempurna untuk kebetulan.

Senar E-nya sedikit melengkung... berarti ia lebih suka tension tinggi.

Fingerboard-nya hitam legam. Ebony jenis tua. Tak sepenuhnya di finishing, masih ada tekstur seratnya.

Dan f-hole-nya—bukan ukiran biasa. Itu bisikan. Itu suara yang belum dimainkan.

Menyadari ia semakin dekat, tubuhku refleks melompat berdiri. Ia tampak kaget—tapi cepat menutupinya dengan senyumannya yang... sangat cantik.

“Kau takut padaku?” ia tertawa geli. Entah aku merasa, sepertinya ia anak yang baik. Apa tidak apa-apa jika aku mengendurkan pertahanan? Apa ini aman? Atau hanya wajah tampannya saja yang menipu?

“Baiklah.” Ia mundur selangkah, lalu naik ke atas sebuah batu besar lainnya di dekatku.

“Aku berikan kau hadiah kecil. Kau tau, kau pendengar pertama.” Ia tersenyum. Mengangkat violin nya ke atas bahunya. Ia memejamkan mata. Kami berdua merasakan hembusan angin musim gugur yang menenangkan. Seolah menunggu ketukan pelan kondektur, sebelum akhirnya suara indah itu terdengar.

Sebuah nada yang sangat menenangkan pun mengalun, menembus hingga ke hatiku. Sangat nyaman. Sungai tak lagi bergemericik di telingaku. Angin seolah berhenti berembus. Nada-nada itu seperti benang halus yang mengikat jiwaku—lembut, tenang, mengisi celah kosong. Rasa takut itu hilang, tergantikan oleh rasa kagum dan kehangatan.

Aku terhanyut.

Lalu ia berhenti. Dan dunia kembali bergerak. Suara gemericik air sungai kembali terdengar.

Aku membuka mata. Ia sudah berdiri di seberang sana. Menatap seolah menunggu reaksi ku.

Lihat selengkapnya