Sudah seminggu sejak aku bangun tanpa masa lalu.
Kepalaku masih kosong. Tapi langkah kakiku selalu tahu ke mana harus pergi. Ke arahnya.
Isabelle.
Aku belum bisa menyebutnya teman.
Dia bukan saudara, bukan kekasih, bukan guru.
Perasaan ini... Sungguh aneh. Aku seperti merasa bukan diriku. Tapi ini diriku.
Dan setiap pagi, aku ingin tahu apakah dia sarapan. Apakah dia menangis diam-diam seperti hari sebelumnya. Apakah hari ini dia akan bicara padaku lebih dari tiga kalimat.
Itu cukup. Untuk sekarang.
Hari ini, aku duduk dua bangku di belakangnya saat sarapan. Meja panjang asrama musik. Dia menghadap jendela, menggenggam cangkir dengan dua tangan seperti menghangatkan hati yang beku. Di sebelahnya duduk Althea, gadis berambut karamel yang selalu tampak seperti peri dari buku dongeng.
"Apa dia masih mengikutimu seperti bayangan hantu?" bisik Althea, pelan, tapi aku mendengarnya.
Isabelle tidak menjawab. Aku merasakan sudut matanya menatap ke arah ku.
Dia menunduk. Jari-jarinya mengetuk pola acak di meja. Seperti tuts piano yang hanya dia bisa dengar. Lagi-lagi. Aku mulai mengenali kebiasaannya. Apakah itu spektrum yang ringan? Apa yang ia rasakan setiap spektrum itu muncul? Apakah bisa disembuhkan?
Aku menahan diri untuk tidak mendekat. Aku tidak ingin membuatnya merasa terjebak lagi. Tapi entah kenapa, kakiku tetap berdiri. Mengambil roti. Duduk di sisi seberangnya. Tidak bicara. Tidak menyapa.
Hanya... menjaga jarak yang bisa disentuh jika ia jatuh.
Siangnya,
Aku melihatnya dari balkon aula saat istirahat.
Isabelle berjalan sendiri di koridor belakang kastil. Membawa lembar partitur di pelukannya. Jalan kecil itu sunyi. Angin berhembus pelan. Tapi tidak kosong.
Tiga gadis jurusan seni tari balet mendekatinya.
Aku tak tahu nama mereka. Tapi aku ingat bentuk langkah mereka: jinjit, licik, penuh niat buruk.
Aku tidak bisa mendengar apa yang mereka katakan. Tapi aku bisa membaca bahasa tubuh Isabelle: kepala menunduk, bahu naik, tangan menggenggam keras.
Lalu dorongan. Lembaran partitur jatuh ke tanah seperti daun gugur yang diinjak.
Dan Isabelle tidak melawan. Dia hanya memungut kertas-kertas itu dengan lutut gemetar.
Tanganku gatal.
Aku ingin turun. Tapi aku tahu—kalau aku muncul, dia akan panik. Dia akan lari.