Suara gemericik sungai di hadapanku membuat hatiku perlahan tenang. Terlalu banyak hal aneh terjadi akhir-akhir ini. Rasanya otakku seperti lembaran partitur kosong yang belum bisa kuisi. Kosong... tapi berdetak.
"Ini tempat favoritmu, ya?"
Suara itu serak dan hangat—seperti hujan di pagi hari yang belum selesai. Aku menoleh. Arthur berdiri di seberang sungai kecil itu, tepat di tempat kami pertama kali bertemu. Dengan senyum khasnya. Tenang. Lembut. Mengganggu.
Aku hanya mengangguk. Tak bersuara.
"Aku juga suka di sini. Tempat ini... seperti dunia lain. Sunyi. Tapi bukan sunyi yang menyeramkan. Seperti... tempat untuk membiarkan dirimu menyatu dengan hal-hal indah yang ada di sini," katanya. Ia duduk di atas hamparan rumput, sesekali tangannya meraba tali violin seperti sedang berbincang dengan sahabat lama.
“Apakah kau juga merasa... tempat ini seperti tidak ada makhluk lain selain kita?”
Aku menatapnya. Dan untuk sepersekian detik... aku setuju dengannya. Mungkin itu lah kenapa aku sangat menyukai tempat ini. Di sini aku bebas dari tatapan penyihir-penyihir jahat itu. Dari suara dan bising yang menyakitkan.
Angin menerbangkan helai-helai rambutku. Aku menunduk. Tanganku menyentuh permukaan sungai yang dingin, lalu kembali menyeka ujung mataku yang berair. Apakah aku menangis?
"Kau seorang pianis, ya?" tanyanya. Aku mengangguk cepat. Ia tertawa. "Kalau begitu, suatu saat kita harus tampil bersama. Kau main piano, aku main violin. Kita akan memimpin sebuah orkestra terhebat di dunia."
Aku mengangguk lagi. Lebih cepat. Aku... tidak paham kenapa tubuhku lebih dulu merespons sebelum pikiranku.
“Kau suka siapa? Brahms? Rachmaninoff? Franck?”
"Schubert," jawabku mantap. Seperti lagu favoritku. Dan ayah.
Dia tersenyum lebih lebar. “Sama. Dia juga penyelamatku.”
Lalu, seperti ada gumpalan emosi yang tak bisa ku tahan, aku berkata, “Schubert adalah lagu terakhir yang aku dengar... sebelum ayahku meninggal.”
Arthur terdiam. Matanya berubah. "Ayahmu sudah...?"
Aku mengangguk. Menarik napas panjang. Kata-kata pun mengalir tanpa bisa kucegah. Cerita itu. Tentang pesawat. Tentang pohon yang menembus kabin. Tentang darah. Tangis. Dan cahaya yang redup.
Arthur tidak berkata apa-apa. Tapi ketika aku selesai, ia mendekat. Duduk di sisiku. Menyentuh lenganku pelan, seolah menyelaraskan kesedihanku dengan napasnya.
“Aku... akan memainkan sesuatu,” katanya, lalu bangkit. Ia meletakkan violin di bahunya.
Nada pertama seperti embun. Nada kedua seperti pelukan.
Lalu suara itu mengalir.
Lembut. Panjang. Dalam. Setiap nadanya seperti mengusap luka-luka lama yang belum sempat sembuh. Seperti angin yang melewati reruntuhan gereja tua. Hening. Dan sakral.
Aku mengenalnya.
“Meditation,” bisikku. “Dari Thaïs.”