Apa sih maunya Ibu menyuruhku kembali dan bekerja di kota ini? Lagipula skripsi juga belum selesai. Ditambah lagi aku sangat tidak ingin kembali ke sini. Orang-orang yang kolot, suka bergosip, bermuka dua, merasa paling suci, diperparah oleh teman-teman yang suka saling mem-bully. Bahhh… Tidak ada yang menarik di sini. Sejauh ini yang kuingat dari kota ini hanya dipenuhi kesedihan dan kenangan pahit.
Aku tidak akan berusaha sebaik-baiknya di interview yang sudah Ibu agendakan buatku. Lagipula kenapa sih Ibu mau aku bekeja di sana? Apa masih tidak puas menyiksaku? Aku sungguh tidak paham dengan jalan pikir Ibuku. Rasanya aku ingin bertanya seribu kali apakah Ibu lupa kalau dari dulu aku tidak pernah betah di rumah? Di rumah itu seperti neraka. Bahkan mungkin lebih parah. Omelan dan omelan selalu jadi makanan sehari-hari. Kalau bisa dihitung sudah beribu-ribu omelan kutelan setiap hari rasanya. That’s why sudah dari dulu aku bertekad pergi jauh. Sejauh-jauhnya. Tidak perlu kembali. Untuk apa kembali ke tempat yang penuh dera dan siksa buatmu? Buat apa kembali ke kota yang hanya akan mengingatkanmu pada setiap masa lalumu yang kelam. Kota yang hanya bisa memberikan kenangan buruk demi kenangan buruk. Aku tidak pernah melihat adanya kebahagiaan di sana.
Aku sudah bahagia hidup di kota orang yang jauh dari kampung ini. Tidak ada lagi suara omelan di pagi hari. Tidak ada yang berkata-kata kasar padaku lagi. Hidupku sudah bebas dari aturan dan terbebas dari neraka dunia. Bagaimanapun caranya, aku akan tetap mempertahankan standpoint-ku; tidak akan kembali lagi. Titik!
Kebahagiaanku adalah pergi menjauh sejauh-jauhnya dari kota itu dan seisinya. Kasarnya, kalau bisa lari ke planet lain, akan kulakukan supaya tidak ada lagi yang mencariku.
“Melly!”
Kedua telingaku menangkap suara wanita yang familiar. Suara itu mengusikku. Mataku langsung berkelana mencari sumber suara itu. Kulihat dari jauh Ibuku berlari-lari menghampiriku yang masih duduk di ruang tunggu stasiun, diam saja.
“Mel! Ayo sini, Ibu bawakan tasnya.” Ibu berlari-lari kecil menghampiriku dengan wajahnya yang berseri-seri. Kini aku bisa semakin melihatnya mendekat, mendekat, terus mendekat. Melihatnya dari dekat. Dirinya pun sebaliknya; melihatku dari dekat. Aku…ya, aku, dengan wajahku yang sudah kutekuk sampai kusut. Tatapan mata yang penuh amarah, kekesalan, kebencian dan kesakitan yang hanya tercekik di leher, tak mampu keluar sehingga membuat kerongkonganku sakit rasanya. Namun, Ibu… Sosoknya selalu tersenyum bangga melihatku.