Shift kali ini jauh lebih baik. Aku tidak perlu satu shift dengan Maya si nenek lampir itu. Hari ini aku berpartner dengan Reymond. Hari akan jauh berjalan lebih baik kalau satu shift dengan dia. Serius! Reymond tidak pernah marah-marah meskipun aku sering melakukan kesalahan dan bertindak konyol. Dia itu bak stand up comedy. Selalu happy dan easy going.
Shift malam menurutku jauh lebih menyenangkan karena aku menghandle adalah para tamu yang akan check in. Tapi, yang menjadikan shift malam paling tidak menyenangkan adalah karena aku akan dipaksa melakukan closing shift. Lagi dan lagi. Closing shift artinya kau harus merekap semua pembayaran alias uang yang masuk ke bagian resepsionis selama satu hari itu. Entah itu pelunasan sewa kamar hotel, setor uang parkir dari petugas pembayaran parkir kami, tiket kolam renang, laundry, mini bar, dll. Jika saat closing uang kas tidak sesuai dengan laporan tertulis, maka kau harus nombok. Namun, sebaliknya jika saat closing uang kas berjumlah lebih dari laporan tertulis, maka itu menjadi rezekimu.
Hari ini ada dua puluh expected guests, tapi sejauh ini baru tiga tamu yang check in. Hari masih panjang, pikirku. Aku mendenguskan keluhanku. Kulirik jam tanganku. Masih jam lima sore. Langit di luar sana semakin mendung membuat suhu di ruangan jadi semakin dingin. Blazerku yang tebal rasanya bahkan tidak sanggup menghangatkan tubuhku yang kekurangan lemak. Merasa bosan, kuambil permen jahe yang ada di meja resepsionis.
“Makan permen terus, neng!” Reymond mulai menggoda. Senyumannya adalah senyuman penuh godaan, dan tatapannya adalah tatapan penuh ajakan untuk berkelahi denganku. “Kedinginan, ya?” Matanya berkedip-kedip genit menjijikan.
“Masa iya kepanasan?!” Volume suaraku mulai meninggi dan akan semakin meninggi lagi.
“Galak banget, sih, kamu?” Dia berdiri mendekatiku dan mencubit-cubit tanganku.
“SAKIT!” aku memekik sekeras-kerasnya.
“Hei! Kalian itu kerja atau tengkar terus, sih?” Pak Krisna muncul entah dari mana dan langsung menegur kami. Beliau adalah manajer di bagian front desk dan lebih sering mengawasi di shift malam.
Aku dan Reymond langsung tertunduk diam di hadapannya.
“Kalian itu front office, wajah hotel kita. Kalian jangan sembarangan kalau nggak ada tamu yang datang.” Pak Krisna beralih pandangan ke Reymond. “Reymond! Kamu ajari Mitha buat closing shift lagi. Udah berapa lama di sini, tapi nggak bisa-bisa closing. Mulai hari ini dia jadi tanggung jawabmu, ya! Ajari dia sampai bisa. Kalau dia masih nggak bisa, kamu yang saya marahi!”
Bapak judes itu berlalu lagi, meninggalkan kami yang semakin membeku. Bangke!
“Lagi PMS kali ya marah-marah melulu,” gerutuku sambil melihat sosoknya berjalan menjauh dari area resepsionis dan menghilang di balik pintu lift.
“Tuh, kan? Dimarahin lagi. Kamu, sih!” Reymond memasang wajah memelas dan merajuk. Bukannya lucu malah membuatku geli setiap melihat dia melakukannya.
Aku meringis. “Kamu juga cubit-cubit aku! Sakit tahu!”
“Kampret! Kenapa aku yang disuruh bertanggungjawab buat kamu. Apa-apaan, sih? Dasar manajer gendeng! Udah sini, Mitha sayang, belajar closing lagi mumpung sedang sepi. Kamu harus bisa, lho. Awas kalau nggak bisa-bisa.” Dia sok-sokan bermuka serius padahal aku tahu sekali dia tidak mungkin bisa serius.
Aku cekikian sendiri melihatnya sok serius dan marah-marah. Reymond memang begitu. Di saat marah-marah pun tetap lucu. Ahh… dia sudah seperti kakak kandungku sendiri.
“Nah, sekarang coba jelaskan cara untuk settle credit.” Dia bergaya sok bossy dan melipat kedua tangannya di dadanya.
Aku mulai menyebutkan cara-caranya. Dia manggut-manggut. “Terus, settle debit?” Aku kembali menunjukkan caranya, tapi dengan agak terbata-bata takut salah. “Oke. Kalau closing shift, apa aja yang harus dilakukan, hayo?”
Aku mendengus sebelum menjelaskan padanya kalau aku harus mencetak semua riwayat transaksi hari itu, kemudian mencocokkan dengan uang kas yang ada di laci kasir. Dia senyum-senyum bangga mendengar penjelasanku. Dia terlihat ingin menambahkan sedikit penjelasan padaku, tapi aku segera memotong niatnya karena melihat keempat pria yang keluar dari taksi di lobi.
“Eh, siap-siap! Ada tamu kayaknya.”
Dengan sigap dia langsung bersiap menyambut tamu di depan komputernya. Pandangannya ke luar pintu lobi. Dua mobil taksi datang. Aku baru menyadari kalau mereka bukan tamu yang akan check in. Mereka sudah melakukannya. Mataku mengikuti langkah mereka yang berjalan dari pintu lobi menuju lift.
***
Dia berjalan dengan cepat menuju ke meja respsionis seperti orang terburu-buru.
“Selamat sore, Pak. Ada yang bisa saya bantu?” Sepertinya kalimat tanya itu sudah kuucapkan beribu kali sore ini. Tapi, kali ini rasanya berbeda karena aku mengucapkannya langsung kepadanya, khusus kepadanya. Rekan satu shiftku sedang ke toilet. Aku bersyukur karena dia tidak ada di sini sehingga aku bisa melayani dia sendirian.
“Bisa extend nggak, mbak?”
Sebersit perasaan senang menaungiku ketika mengetahui rencananya untuk stay lebih lama.
“Mohon maaf, atas nama siapa, Pak?” Meskipun sudah tahu namanya, aku tetap menanyakannya. Sekali lagi, prosedur hotel.
“Pak Jimmy.” Dia menatapku dengan senyuman yang tak bisa kuartikan maksudnya.
“Baik. Di kamar yang sama, Pak? Untuk berapa malam, Pak?”
“Iya, kamar yang sama aja. Buat semalam aja.” Mata kami saling bertemu lagi.
“Baik, Pak. Sudah saya extend. Mohon maaf, untuk pembayarannya mau dibantu sekarang atau besok saat check-out?”
“Besok aja pas check out.”
“Baik. Boleh pinjam kuncinya, Pak? Biar saya setting ulang.”
Dia menyerahkan kunci kamarnya, lalu menundukan wajahnya berusaha melihat wajahku dan menatap mataku. “Siapa namanya?”