Fall in Love with Devils

judea
Chapter #6

Melly

Aku benar-benar sudah tak betah di sini. Interview kemarin kulalui sebisanya tanpa memperlihatkan antusiasme tinggi. Semoga saja mereka melihat ketidaktertarikanku dan mencoret namaku dari daftar calon karyawan mereka. Dengan begitu aku bisa terbebas dari semua ini. Baru beberapa hari di sini, tapi rasanya sudah seperti bertahun-tahun dan membosankan. Tinggal di sini sama saja dengan membunuh diriku perlahan-lahan.

Aku terus menatap layar HP dan berharap mendapatkan balasan secepatnya dari Brian. Namun, yang kutunggu-tunggu tak kunjung datang. Pasrah, kuletakkan benda tersebut di atas meja di samping tempat tidurku. Dengan berbaring sambil memandangi langit-langit kamar, aku mencium aroma nasi goreng yang sedang Ibu masak. Suara lain yang kudengar adalah suara berita di TV dengan volume yang cukup keras. Aku masih enggan untuk beranjak dari tempat tidurku dan keluar kamar.

Kedua mataku masih tetap melekat pada langit-langit kamar. Kamar ini adalah saksi bisu semua yang pernah terjadi. Sampai sekarang masih teringat dengan jelas saat-saat itu di benakku. Kejadian beberapa tahun silam. Persetan! Sudah lupakan saja! Aku mengubah posisi tidurku menghadap tembok, berharap bayangan kejadian yang sudah lama itu bisa menghilang dengan sekejap. Mirisnya semesta tidak semudah itu membiarkanku melupakannya. Kadang aku berharap aku terkena amnesia dan melupakan semua isi kepalaku. Semuanya, baik kenangan yang menyenangkan maupun yang menyedihkan.

Waktu itu aku berlari tergopoh-gopoh masuk ke dalam kamarku, mengunci pintu kamar dengan tangan gemetar, dan secepat kilat menyambar Blackberry-ku, lalu kusembunyikan ke dalam tas sekolah. Satu hal yang paling berharga waktu itu bagiku adalah Blackberry yang kubeli dengan jerih payahku sendiri menabung sisa uang jajanku. Seseorang di luar kamarku berteriak-teriak memanggil namaku dan menggedor-gedor pintu kamar. Aku melihat daun pintu dan engselnya bergerak-gerak hampir copot. Keringat dingin mulai membanjiri tubuhku. Jantungku berdetak makin kencang. Pintu itu tidak akan dapat menahannya di sana dalam waktu yang lama. Dalam ketakutan mencekam, hatiku menjerit pada Tuhan. Di mana kah Tuhan? Tuhan bahkan tidak ada di sana bersamaku saat itu. Aku benar-benar sendirian. Aku terjebak di ruangan kecil ini dengan seseorang di luar pintu yang sudah semakin sangat brutal. Entah setan mana yang merasukinya, yang jelas saat itu dia lebih terdengar seperti monster daripada manusia. Aku masih bisa mengingat dengan jelas setiap teriakan yang keluar dari mulutnya dan menyisakan terror horror yang masih menyiksa telingaku sampai sekarang.

Kau tidak tahu betapa kacaunya perasaanku saat itu. Itu sama saja seperti menghadapi malaikat maut yang akan menjemput paksa dirimu. Monster itu kemudian berusaha keras membuka paksa jendelaku. Bodoh! Kenapa aku sampai lupa tidak menguncinya? Kaca jendelaku hampir saja pecah karena dorongan dan pukulan keras darinya. Keadaan membuatku kehilangan kewarasanku. Aku mulai berteriak-teriak sambil menangis histeris seperti orang kesetanan. Lucunya, aku lupa apa yang kukatakan waktu itu. Aku hanya ingat apa yang dimuntahkan mulutnya untukku. Entah dari mana kemudian Ibu muncul dengan tidak kalah histeris. Dari luar Ibu bicara dengan volume tinggi membujukku untuk membuka pintu kamar. Aku tidak mau. Monster itu terus berteriak-teriak. Membuatku mual. Membuatku muak. Kepalaku pening sekali, mau pecah rasanya. Ingin kuberteriak ‘BUNUH SAJA AKU SEKARANG JIKA KAU MAU!’. Sayang sekali kata-kata itu tercekat di kerongkonganku. Aku menyesal aku tidak pernah mengatakannya. Aku hanya berteriak dalam hati, berteriak dalam bisu. Ibu masih memohon-mohon agar aku membukakan pintu kamar. Ibu berjanji semua akan baik-baik saja. Monster itu masih ada di balik pintu, meneriakkan hal yang sama: agar aku membuka pintu! Aku ragu. Aku takut. Bayangan wajahku yang acak-acakan dengan mata merah sembap terpantul di cermin meja rias. Di atas meja rias yang berdiri dengan sombongnya menyaksikan kekacauanku, aku melihat secercah harapan. Kuraih benda lancip itu dan di saat yang bersamaan engsel pintu kamar terlepas dari tempatnya dengan kasar. Sesaat setelahnya, dunia menjadi gelap dan sunyi. Suara-suara berisik yang membuat kepala pecah, teriakan histeris, caci maki yang dilontarkan bertubi-tubi bak tomat busuk yang dilemparkan, semuanya hilang. I thought I was dead, but my life was spared, regrettably.

Kenapa Tuhan tidak mencabut nyawaku saja saat itu? Mungkin segala sesuatunya akan jadi lebih baik jika aku tidak ada lagi. Nasi sudah menjadi bubur. Itulah ungkapan yang tepat bagi hidupku. Setelah seseorang membuatmu trauma, maka trauma itu akan sulit untuk disembuhkan atau bahkan tidak mungkin hilang dari ingatanmu. Semakin kau berusaha keras untuk menghilangkannya, semakin dia melekat erat di dalam pikiranmu. Tentakel-tentakelnya yang menempel dan melekat erat sudah sangat sulit dilepaskan. Trauma itu seperti bekas luka yang tidak akan pernah bisa mengering. Suatu saat luka itu akan terbuka lagi dan membuat perih. Kalau pun luka itu mengering, luka itu meninggalkan bekas. Bekas luka merupakan pertanda apa saja yang pernah kau alami dan kau lalui. Luka bisa menghilang, tapi tetap membekas dan bekas itu akan terus membawa ingatanmu kembali pada penyebab luka itu.

Lihat selengkapnya