Senang rasanya saat tahu kalau dalam hitungan menit aku akan menginjakkan kaki di kota ini lagi. Yogyakarta. Kota yang tidak pernah mati. Kalau orang bilang kota ini adalah kota pelajar, sebenarnya aku setuju, tapi tidak seratus persen. Jauh lebih daripada itu, menurutku kota ini adalah kota kebebasan. Aku bisa terbebas dari segala aturan di rumah dan kekangan yang selama ini membelenggu hidupku.
Kakiku melangkah dengan santai di sepanjang koridor stasiun sampai ke pintu keluar. Aku tidak perlu menunggu lama karena Brian sudah sampai di sini sebelum kereta berhenti menurunkan penumpang di stasiun Yogyakarta. Matanya berbinar melihatku dari kejauhan. Aku pun segera berlari ke arahnya berdiri. Senyumnya mengembang lebar membuatku tak tahan untuk segera memeluknya.
“Hei!” Aku langsung memeluknya, tak peduli jika orang-orang di sekitar melihat kami. Dia cepat-cepat melepaskan pelukanku. Malu jika dilihat banyak orang, katanya. Kupasang wajah cemberut karena responsnya. Dia meringis geli.
“Yuk, langsung ke kosmu aja. Kamu pasti capek, kan?” Tangannya menggandengku dan membantuku membawa tas jinjing menuju ke parkiran motor. Siang itu cuaca cukup cerah, tapi tidak terlalu terik.
Aku menggeleng tidak setuju. Kupikir kami bisa menghabiskan waktu sambil mengobrol di café atau tempat nongkrong terlebih dahulu. “Makan es krim, yuk?”
Dahinya mengernyit. “Pulang dulu aja.” Genggaman tangannya semakin erat. “Kamu pasti capek. Pulang aja. Nanti kamu mandi, ganti baju, baru kita ke gelato.” Brian bersikeras sekali. Baiklah, ujarku dalam hati mengalah pada perintah kerasnya. Aku hanya mengangguk nurut.