Kalau boleh jujur, aku ingin lenyap ditelan bumi saja saat ini. Bagaimana tidak? Aku harus menemani Edward, si cowok super kecakepan di seantero dunia, untuk makan di café hotel dalam keadaan aku masih dengan seragam hotel lengkap dan make up lengkap. Dia memang agak kurang ajar, sengaja menungguku sejak jam dua siang. Dia sudah tahu kapan aku selesai shift. Beribu-ribu kekesalan dan gerutu sudah membuncah dan memenuhi isi otakku. Tapi, di sisi lain, aku mengakui kalau aku senang Edward datang. Setiap kali dia datang menemuiku, dia pasti tidak akan segan-segan melakukan apapun untukku. Dia memang sangat loyal. Anak pelayaran seperti dia memang harus kuakui ketebalan dompet dan nyalinya untuk selalu mendekati dan berusaha meluluhkan hatiku. Berkali-kali dia mencoba, berkali-kali juga aku menolaknya hingga saat ini, di mana dia sudah duduk berhadapan denganku.
“Ed, aku pulang dulu, ya? Nggak enak sumpah, nih, masih pakai seragam begini tapi sudah keliaran sana-sini di hotel kayak tamu hotel saja.” Memang ada semacam “larangan” tidak tertulis di hotel ini yang mengharuskan seluruh stafnya untuk tidak mengenakan seragam hotel jika ingin menikmati fasilitas hotel setelah shift-nya berakhir. Bukan apa-apa, tapi hanya agar tidak memberikan kesan pada pengunjung bahwa ada karyawan hotel yang enak-enakan menikmati fasiltas hotel di jam kerja. Tamu hotel cenderung akan berasumsi orang yang berseragam pasti masih bertugas atau berada di jam kerjanya.
Seperti dugaanku, wajah sumringah Edward langsung berubah jadi muram. “Jangan dong, Mit! Temani aku dulu di sini. Kan, tadi kamu sudah janji mau temani aku?”
“Tapi tadi kamu bilang cuma sampai jam empat. Ini sudah lewat jam empat, Ed,” tukasku langsung. Aku sudah siap-siap angkat kaki dari café hotel, tapi lagi-lagi bocah tengil itu melarangku.
“Aku jauh-jauh dari Jakarta ke sini demi kamu, Mit.” Dia menatapku dengan pandangan memelas. Perasaanku jadi tak enak. “Aku bayarin kamu semuanya, deh, tapi temani aku berenang. Bentar doang, kok!”
Responsnya membuatku memutar kedua bola mataku karena sudah tidak tahan menahan kekesalan. “Aku nggak bawa baju renang, Edward.”
“Kamu duduk-duduk istirahat di café kolam renang. Ok? Aku bayarin makanan kamu.”
Edward memang pintar sekali memaksa dan membuatku merasa tidak enak. Apa dia tidak tahu kerja di front office sangat melelahkan? Tubuhku sudah benar-benar lelah rasanya. Ingin segera merebahkan diri di atas tempat tidur dan terlelap, bukan malah duduk-duduk di pool café. Esok akan jadi hari yang lebih berat lagi karena Edward sudah memutuskan untuk check out dari hotel tempatnya menginap dan akan langsung check in di sini sebelum mendapatkan kos-kosan. Iya, dia bilang dia berencana merintis usaha kuliner dengan temannya di sini, jadi artinya dia akan stay di sini. Aku harus bersiap-siap dihantui dirinya kalau begitu.
Tangan Edward meraih tanganku, “Ayo, Mitha!” Dia membujukku untuk kesekian ribu kalinya. Bujukannya membuatku muak lama-lama dan dengan terpaksa aku menuruti kemauannya. Dia segera membayar bill tagihan kami dan menggiringku ke bawah menuju kolam renang. Wajahnya sudah berubah, dari yang tadinya ditekuk dan muram karena ancamanku yang akan pulang meninggalkannya, menjadi cerah ceria lagi. Kadang aku hanya kasian dengannya. Untuk apa, sih, dia mau rela-rela menunggu dan meperjuangkan aku, seseorang yang sampai kapanpun tidak akan pernah bisa membuka hati untuknya. Bagiku, di dalam kamus kehidupanku, Edward akan tetap jadi teman kecilku dan memang begitulah dia seharusnya untuk selama-lamanya. Dia memang bisa dibilang cowok ideal nan sempurna, tapi bagiku sosoknya tidaklah lebih dari sekadar teman masa kecil. Aku terkejut saat Edward mengungkapkan perasaannya padaku tiga tahun yang lalu. Dia bilang kalau dia akan memperjuangkan aku sampai kapanpun. Dia hanya mau aku menjadi jodohnya. Aku, aku, aku, dan aku. Tidak mau wanita lain. Awalnya aku menertawakannya karena kata-katanya yang terdengar seperti retorika. Maksudku, sangat menggelikan saat kau memaksakan seseorang supaya jadi jodohmu, kan? Aku pikir dia hanya berkhayal dan mengatakan sesuatu yang bullshit karena dalam pemikiranku laki-laki tidak akan pernah bisa dipegang kata-katanya. Tidak disangka, tiga tahun dan bahkan hampir empat tahun berlalu, dia masih tetap memperjuangkanku. Kadang aku merasa itu antara bodoh dan cinta mati.
Kami berjalan bersama menuju kolam renang. Aku berjalan di sampingnya mendengarkan ceritanya yang antusias tentang pengalamannya bekerja di kapal pesiar.
“Terakhir sebelum balik ke Indo, aku berhenti di Meksiko. Wuih, keren deh pokoknya di sana! Kapan-kapan kita ke sana, ya!” Wajahnya penuh dengan senyum, tawa, dan aura keceriaan yang tidak bisa kudefinisikan lagi. Sementara aku hanya bisa memandangnya dengan kening berkerut. Kita? Kata-katanya membuat langkah kami terhenti sesaat.
“Jangan jutek gitu, Mit! Aku cuma bercanda, kok, tadi.” Dia kembali melangkah dengan pedenya.
Aku melengos, membuang muka ke arah kolam renang. Kulihat kolam renang sore itu tidak terlalu ramai. Ada satu keluarga dengan dua anaknya yang masih kecil-kecil, ada sekelompok anak muda yang mungkin seusiaku, dua laki-laki muda dengan wajah oriental yang mirip satu sama lain dan seorang perempuan muda duduk di pinggir kolam renang. Tubuhnya yang masih basah menandakan dia belum lama duduk di sana. Perempuan itu sibuk bermain air dengan kakinya. Kini dia memasang matanya kepada kami berdua yang berjalan ke area kolam renang. Dia tidak memerhatikan Edward. Dia memerhatikanku. Merasa risih sendiri diperhatikan terus olehnya, aku dengan cepat mengalihkan pandanganku ke objek lain, yang ternyata mataku mendaratkan pandangannya ke seorang wanita yang cantik jelita di pool café. Wanita itu dengan balutan mini dress-nya terlihat sibuk dengan dunia dalam genggamannya sendiri. Sejauh yang kulihat, dia hanya ditemani oleh segelas orange juice. Ada perasaan familiar ketika melihat sosoknya yang terduduk tenang nan manis di sana. Aku tersentak. Dia!