Boleh dibilang baru kali ini aku menunggunya selesai mandi dengan sangat gelisah. Saat ini aku hanya bisa berbaring di atas tempat tidur sambil berpura-pura memusatkan konsentrasi dan fokusku ke tayangan televisi, meskipun dalam hati aku sangat cemas. Aku takut bahwa apa yang kudengar waktu itu memang benar adanya. Jantungku mulai berdetak lebih kencang. Tangan dan kakiku sudah dingin. Suara gemercik air yang menyentuh lantai keramik yang masih terdengar beberapa saat yang lalu, sekarang sudah tidak terdengar lagi.
“Ngelamunin apa?”
Secepat kilat aku langsung menoleh ke arahnya. David sudah ada di hadapanku dalam kondisi handuk membalut pinggang dan sebagian pahanya. Dia berdiri di sana sambil mengeringkan rambutnya yang masih basah. Meskipun tersenyum, wajahnya terlihat sekali menyimpan sesuatu hal yang berat. Aku tahu dia pasti tidak siap mengatakannya.
“Ngelamunin kamu,” jawabku singkat. Aku memaksakan senyuman palsu.
Dia meletakkan handuk yang dia gunakan untuk mengeringkan rambutnya ke dalam kamar mandi, kemudian menghampiriku dan duduk tepat di sampingku. Kami sama-sama bersandar pada tempat tidur. Aku mengubah posisiku agar bisa memandangnya dengan leluasa. Apakah aku harus memulai pembicaraan ini? Terkesan terburu-buru sekali rasanya… David menoleh ke arahku dan menatapku lekat-lekat. Seolah mengerti isi pikiranku, ia tersenyum dan menggenggam tanganku. Aku mengusap-usap rambutnya yang masih basah. Ada perasaan tidak tega ketika memandangnya dalam kesusahan yang tertahan seperti ini. Tiba-tiba ada perasaan bersalah yang menusukku begitu kuat. Seharusnya aku bukan menjadi seorang wanita yang menghambur-hamburkan uangnya. Seharusnya aku bisa menjadi wanita yang membantunya bangkit di saat dia sedang terpuruk, atau setidaknya aku bisa menjadi wanita yang mau mengerti keadaannya. Tapi, faktanya… aku selalu menuntut dan menuntut lebih.
“Jangan ceritakan ke siapa-siapa. Oke?”
“Kalau kamu nggak mau cerita juga nggak apa-apa, Vid. Maafin aku, ya? Mungkin aku terlalu memaksakan kamu. Kalau memang kamu nggak nyaman dengan menceritakannya, it’s okay, aku ngerti, kok. Aku nggak akan maksa kamu seperti tadi lagi.”