Aku dan David mengemasi barang-barang dan bergegas turun ke lobi untuk check-out setelah berkeliling mencari gudeg Jogja di pagi hari ini. Dari kejauhan dapat kulihat dengan jelas ada tiga orang resepsionis yang bertugas. Salah satunya Mitha. Sayang sekali David menyuruhku duduk menjaga barang dan dia bersikeras untuk melakukan check-out. Alhasil aku hanya duduk sambil mengawasi Mitha dari jauh. Dari tempatku duduk aku bisa melihat Mitha tidak terlalu memedulikanku. Dia bersikap professional.
Aku sengaja beranjak dari tempatku duduk dan menghampiri David di meja resepsionis. Mitha hanya tersenyum. Dia memberikan bill tagihan hotel kepada kami berdua. David segera memberikan kartu kreditnya. Tak perlu menunggu lama, pembayaran sudah beres. Kulihat Mitha fokus bekerja dengan cepat dan cekatan. Dia tidak mengindahkan keberadaanku. Aku kecewa, tapi berusaha memahami sikap profesionalnya. David dan aku berpamitan sambil mengucapkan terima kasih pada Mitha dan temannya, kemudian kami berjalan menuju ke luar lobi di mana taksi kami sudah menunggu.
Di mobil David sibuk mengobrol dengan sopir taksi, sementara aku di sampingnya sibuk dan tenggelam dengan bayangan mengerikan jika David ditangkap. Sesekali aku memperhatikan wajah gembira David yang sedang asyik mengobrol dengan sopir taksi. Bagaimana jika kau pergi dan meninggalkanku sendirian? Bagaimana rasanya kalau aku harus berpisah denganmu? Aku cepat-cepat mengalihkan pandanganku ke jalanan di balik jendela mobil seolah pikiran burukku bisa hilang seketika. Jalanan macet, sama seperti jalan pikiranku. Apa yang harus kulakukan, ya Tuhan? Apa rencanaku? Bayangan wajahku yang terpantul di kaca jendela mobil menatap balik ke arahku. Tatapannya menyadarkanku pada sesuatu yang selama ini telah menjadi kabur dan bias. Aku melihat sesosok wajah perempuan cantik yang kuat. Perempuan yang tidak seharusnya diperbudak seorang laki-laki. Lihatlah kedua mata itu. Kedua mata yang berbinar memancarkan kecantikan yang dalam. Paras cantik perempuan yang seharusnya berhak mendapatkan pria yang jauh lebih baik, bukan pria yang hanya menjadikanmu nomor dua dan mengiming-imingi dirimu dengan setumpuk janji manis. Apa kau ingin hidup seperti ini selamanya? Hidup dalam bayang-bayang perempuan lain dan pria yang hanya bermulut manis. Kalau dia bisa melakukan kenekatan sampai terjebak dalam kasus besar, maka tidak ada jaminan dia bisa melakukan hal yang sama padaku ketika dia sudah tidak lagi mengingkanku. Saat itu terjadi, akan jadi seperti apa diriku? Jika dia tega menyakiti dan mengkhianati istrinya, apakah ada jaminan dia tidak akan melakukan hal yang sama padaku di kemudian hari? Memikirkannya menghidupkan bayangan Dewi muncul dalam benakku. Tidak seharusnya aku menyakitinya. Tidak seharusnya aku menyakiti sesama perempuan. Pantulan wajahku di jendela mobil menatapku dengan tatapan kecewa. Dia kecewa padaku dan itu membuatku merasa sangat berdosa. Hatiku memberontak. Aku bisa merasakannya. Ada desakan kuat dalam dadaku untuk keluar dari lingkaran setan ini. Aku memalingkan wajahku dari tatapan bayanganku dan beralih ke David. Dia terus memuji pelayanan hotel dan menanyakan berbagai macam hal soal Jogjakarta. Tahu kalau dirinya sedang diperhatikan olehku, tangannya secara otomatis menggenggam tanganku dan meletakkan tanganku ke atas pangkuannya. Dia menatapku dengan ekspresi wajah yang tidak bisa kuartikan. Mendadak aku kehilangan kemampuan untuk membaca raut wajahnya. Aku hanya menatapnya balik dengan kebisuan yang dingin. Biasanya reaksiku selalu senang ketika dia menggenggam tanganku. Namun, kali ini berbeda. Ada rasa tidak nyaman yang tersirat dalam diriku. Aku pun melepaskan tanganku dari genggamannya perlahan-lahan. Dan, seperti yang sudah kuduga, he doesn’t even bother with it.