Kudengar samar-samar suaranya dari luar kamar. Suara lelaki… Sedang berbicara… David kah itu? Dengan sekuat tenaga aku berusaha mengumpulkan kesadaranku. Apakah aku sedang bermimpi? Kuusap kedua mataku dan melihat jam di ponsel. Jam tiga pagi lebih sepuluh menit. David tidak ada di tempat tidur. Jadi, suara itu memang suara David yang sedang bicara di telepon. Dia terkesan sedikit berbisik. Apa yang terjadi? Kenapa dia harus menelepon subuh-subuh begini? Dengan cepat pikiranku berkelana ke mana-mana tanpa dapat kukendalikan lagi. Pikiran-pikiran buruk segera mencemari dan meracuni isi kepalaku. Apakah keadaan semakin memburuk? Kesadaranku terkumpul penuh dan aku menguping pembicaraannya dari dalam kamar.
“Iya, iya, saya tahu. Tapi yakin kita bisa lobi ke mereka dulu?”
“Kalau maunya damai, saya juga oke. Damai saja, nggak apa, kok.”
“Mau berapa duit?”
“Urusan yakin bisa kelar, kan? Beres, kan? Jangan sampe udah keluar duit banyak, malah makin runyam. Saya takut ini hanya jebakan.”
“Iya, saya tahu, Pak. Masalahnya sekarang mereka udah bawa kasus ini ke hukum. Pengacara saya bilang kalau sudah begini nggak bisa pakai cara damai yang Bapak bilang tadi!”
“Jadi, sekarang saya harus gimana?”
“Saya harus ketemu Ba-”
Prang! Suara gelas beradu dengan keramik lantai terdengar sangat nyaring di tengah suasana pagi-pagi buta yang sepi. Aku tersentak di atas tempat tidur. Tubuhku menjadi gemetar. Setelahnya, kalimat terakhir David tak bisa terdengar jelas olehku.
“Besok malam saya telpon Bapak lagi saja.”