Fall in Love with Devils

judea
Chapter #24

Mitha

Melly membalas komentar yang kuberikan di foto terbarunya. Dia hanya membalas terima kasih dengan singkat. Aku nyengir kuda sendiri membaca komentarnya. Sepertinya dia mengerti dengan lampu hijau yang kuberikan. Dia memainkan permainan ini dengan lihai. Baiklah kalau begitu. Aku pun akan semakin memancingnya. Kali ini aku sudah nekat. Tidak ada lagi kata sungkan. Dia akan kubiarkan mendekatiku, tapi aku akan menyelidiki siapa dirinya dan apa yang dia inginkan dariku. Dia tidak akan semudah itu mendapatkan apa yang dia inginkan sebelum aku mengetahui siapa dia. Sebagai bagian dari rencanaku untuk memancingnya, aku mengirimkan Direct Message untuknya. Aku mengucapkan terima kasih atas kunjungannya ke hotel tempatku bekerja. Aku juga memberitahukannya untuk follow akun Instagram hotel agar mendapatkan update promo-promo yang kami sediakan. Aku sengaja menunggu beberapa menit sambil berkali-kali memeriksa DM Instagramku. Ada perasaan resah dan tidak sabar menanti balasan darinya. Mungkinkah dia bahkan punya nyali untuk membalas DM dariku? Satu misteri yang akan terpecahkan cepat atau lambat. Aku seribu persen yakin dia akan membalas pesanku.

Tiba-tiba saja ponselku bergetar. Dahiku mengernyit melihat siapa yang meneleponku, tapi hatiku melompat riang gembira. Tak kusangka dia meneleponku lagi. Nama Jimmy Halim terpampang dengan begitu menggoda dan aku tidak bisa menahan diriku lagi.

“Halo?”

“Halo, Mitha. Malam…”

Dia menanyakan apa yang sedang kulakukan. Pertanyaan sesederhana itu sudah membuat jantungku berdetak tak keruan. Tangan dan kakiku mulai berkeringat dingin. Namun, bibirku tak dapat berhenti tersenyum sehingga bukannya menjawab pertanyaannya, aku malah sibuk sendiri dengan perasaanku.

“Hahaha… Kamu grogi ya?”

Suara tawa renyahnya terdengar jelas sekali dari seberang sana – yang entah di mana aku tak tahu. Sialan. Pertanyaannya justru semakin membuatku makin grogi. Tenang, tenang. Aku harus menenangkan diri, tidak boleh sampai kedengaran grogi dan canggung.

“Ah, enggak, kok…” aku mengeles, mengelak. Seketika senyum malu tersungging di wajahku.

“Pacar kamu marah nggak, nih?” kini nada bicaranya lebih mendesak.

“Istri kamu kali yang marah,” jawabku membalikkan keadaan. Aku ingin tahu lebih lagi bagaimana responsnya terhadap kalimatku barusan.

Dia tertawa ringan dari seberang sana, lalu menimpali “ah, masi single gini, kok.”

Aku menimpali dengan tertawa kecil. “Samaan, dong. Hehehe.”

Dia membalas jawabanku dengan tertawa kecil juga. Kemudian dia menanyakan kembali pekerjaanku di hotel, apakah aku betah bekerja di sana. Lagi-lagi dia menawarkan bantuannya jika aku ingin pergi merantau ke Jakarta. Aku memang mulai merasa tidak cocok dengan pekerjaan di hotel saat ini, tapi aku belum memikirkan untuk merantau ke Jakarta. Karena malas membahas hal yang berkaitan dengan pekerjaan, aku mengalihkan topik ke hal lain. Dia tidak kedengaran keberatan. Dia sangat welcome, tipikal pria yang menyenangkan untuk diajak ngobrol dan bertukar pikiran. Ada kalanya pula dia kedengaran membimbingku dengan memberikan beberapa pengertian yang lebih luas mengenai dunia karier dan kehidupan. Sejenak pikiranku melayang membayangkan jika aku bersanding dengan dirinya, seorang pria dewasa yang berusia jauh di atasku. What would it be like?

“Mitha?” Suaranya yang lembut menyadarkanku untuk kembali berpijak ke Bumi setelah sempat melayang ke angkasa.

“Halo? Maaf suaramu sempat terputus. Gimana?” Aku berdalih agar dia tidak mengira aku sedang melamun.

Kami melanjutkan obrolan kami. Dia mengulangi kata-katanya yang tidak kuperhatikan tadi. Ternyata dia sedang membahas film Avenger yang sedang dibicarakan banyak orang. Dari kata-katanya aku mulai mengerti dan menyimpulkan kalau dia menyukai film-film action fiksi ilmiah seperti Avenger. Tak mau kalah, aku menimpalinya dengan lebih bersemangat lagi. Kami pun membahas berbagai film yang pernah kami tonton. Meskipun di tengah pembicaraan kami yang sedang asyik-asyiknya, dia harus menghentikan obrolan karena temannya datang ke apartemennya, dia tidak lupa merekomendasikan beberapa film yang katanya harus kutonton. Kali ini aku mulai merasakan ada perubahan dalam obrolan kami. Obrolan semakin mengalir dengan santai dan aku pun semakin menikmatinya. Kalau sebelumnya aku masih grogi dari awal hingga akhir percakapan, sekarang sudah tidak lagi. Rasa grogi ini berhasil diubahnya menjadi rasa ketagihan. I’m addicted to you.

Lihat selengkapnya