Hari ini David tidak terlihat bersemangat. Secara fisik dia memang duduk di hadapanku, tapi pikirannya absen. Pikirannya sibuk entah ke mana. Sedari tadi dia hanya sibuk dengan gadget. Sandwich yang kubuatkan pun masih utuh tidak disentuhnya. Dia hanya sesekali mengajakku bicara dan merespons kata-kataku. Kadang responsnya tidak nyambung dengan pembicaraanku.
Aku menyuruhnya berhenti bermain gadget dan menghabiskan makanannya. Responsnya hanya anggukan kepala dengan pandangan yang tidak juga lepas dari gadget. Sudah dari tadi dia begitu terus dengan posisi yang sama. Sebenarnya aku ingin sekali tahu sampai mana perkembangan kasusnya, tapi di sisi lain aku juga tak berani membuka obrolan tersebut. Aku hanya tidak mau semakin membuat pikirannya terbebani. Tidak mau dia malah teringat hal itu lagi dan lagi. Jika dia ada di sampingku, aku mau dia bahagia karena bersamaku. Sedari tadi hanya kupandangi saja wajahnya. Ya, memang hanya itu yang bisa kulakukan. Melihatnya begini sama saja seperti melihat bayangan diriku, yang tak lain hanyalah perempuan lemah yang tidak berdaya saat melihatnya terpuruk. Bagaimana jika…
“Ngelamun aja?”
Seketika mataku langsung berkedip dan diriku mengembalikan kesadarannya kembali setelah membiarkannya berkelana ke mana-mana dengan pikiran-pikiran yang tak jelas. Sejenak kupandangi wajahnya dan kedua matanya yang menatapku lekat-lekat, seolah sedang berusaha menyelidiki apa yang merasuki isi kepalaku saat itu. Dia tersenyum kecil. Mungkin wajahku terlihat lucu.
“Kamu lucu kalau kayak gitu.” Senyumnya makin lebar.
Kalimat itu mungkin sudah ribuan kali dikatakannya saat melihat ekspresi wajahku yang membisu. Biasanya aku akan tertawa mendengar kata-katanya, tapi entah mengapa kali ini aku tidak ingin mendengarnya mengatakan kalmiat yang sama itu. Aku hanya menatapnya dengan semakin membisu sambil berharap aku bisa memeluknya kembali dengan erat seperti biasanya.