Aku tidak mau membalas DM-nya. Tidak mau, aku tidak berani. Kubiarkan saja pesan itu menggantung penasaran begitu. Rencanaku selanjutnya adalah aku akan mendatangi hotel tempatnya bekerja dan aku harus bertemu dengannya. Aku tersenyum simpul bukan karena kekonyolan rencanaku, tapi karena aku begitu menuntut untuk bertemu dengannya empat mata. Entah obsesi macam apa yang sudah merasukiku. Akhir-akhir ini hanya sosoknya yang memenuhi isi kepalaku sampai aku baru menyadari kalau sudah beberapa hari Brian tidak bertemu denganku. Aku merasa ada yang aneh dengannya. Tidak biasanya dia bersikap dingin dan acuh seperti ini. Biasanya dia akan meminta bertemu, atau paling tidak makan malam sebentar bersama. Aku memeriksa riwayat obrolan kami, memeriksa apakah ada kata-kataku yang salah. Terakhir kali kami bertemu adalah saat dia memaksaku… Aku tidak kuasa mengingatnya. Aku merasa bersalah pada diriku sendiri. Seketika beban dunia seperti tepat berada di kedua bahuku.
Terlintas kembali dalam benakku untuk mengakhiri hubungan kami. Hubungan kami sudah sangat toxic. Aku sendiri tidak yakin hubungan kami akan berakhir bahagia dan baik-baik saja. Semua ini tidak benar. Aku tahu itu. Nuraniku sudah berteriak-teriak histeris untuk menyadarkanku sejak awal. Namun, aku memilih untuk berpura-pura mati rasa. Semua rela kulakukan demi cintaku padanya. Aku rela mengorbankan diriku dan apa yang paling berharga dari diriku meskipun itu juga artinya menyakiti diriku sendiri dengan sangat pedih. Apakah Brian mau memahami pengorbanan yang sudah kulakukan selama ini? In the name of love, I do everything. What about him?
Setiap kali aku merenungkan apa yang telah kulakukan, aku tidak bisa mengabaikan apalagi mengelak perasaan perih yang bersemayam di dalam diriku. Perasaan bersalah, berdosa, tidak pantas, kecewa, sedih, kotor, dan jijik yang bercampur menjadi satu. Perasaan ini seperti bom waktu. Terkumpul dalam waktu yang lama hanya untuk bersiap meledak di suatu waktu yang entah kapan. Aku bertanya pada diriku kapan aku akan meledakkan bom waktu itu? Apakah aku siap untuk berpisah darinya? Apakah dia akan memberitahukan pada seluruh dunia apa yang sudah kami lakukan? Pikiran-pikiran buruk itu selalu datang menghantui dan menghakimiku. Mereka seperti tanaman berduri yang menghambatku keluar dari jalan setapak yang sempit menghimpit ini. It’s not that I can’t go out, but…deep down I know that I don’t want to. Aku tak mau membuat kakiku berdarah terluka karena menginjak tanaman berduri yang menghalangi jalan keluarku meskipun aku tahu rasa sakit yang akan kurasakan hanya sementara dan tidak abadi. Aku memang akan terluka dan menangis kala menginjak duri-duri tajam yang keras kepala itu, tapi aku akan bisa bernapas dengan lega karena aku sudah terbebas dari jalanan yang menghimpit, bahkan membelengguku. Sayang sekali, aku memilih jalan yang lain. Aku lebih memilih menikmati terhimpit berada di jalan yang menyesakkan ini yang akan terus menyiksa diriku. Rasanya seperti setiap bulu kudukku berteriak dan menjerit menuntut penyiksaan yang lebih lagi. Lucunya, aku menikmatinya. Menikmati setiap luka yang dibuatnya dan kubuat sendiri. More pain, more pain, I’m begging for more pain because I deserve it.