Fall in Love with Devils

judea
Chapter #27

Mitha

“Baik, terima kasih, Bu.” Telepon ditutup dan aku merasa sangat lega. Pagi ini aku harus terbangun dengan kram perut yang luar biasa. Terpaksa aku harus izin bolos karena rasanya sudah tidak kuat sama sekali. Sedari tadi aku hanya tergeletak di atas tempat tidur dengan selimut menutupi seluruh tubuhku. Sama sekali tidak ada nafsu makan dan tidak ingin beranjak sedikitpun. Perutku terasa seperti diperas begitu kuat. Hanya ingin berbaring meringkuk dan berusaha terlelap meskipun sulit sekali. Pagi ini aku mencoba mengirimkan beberapa pesan singkat ke Jimmy, mengutarakan kalau aku sedang tidak enak badan. Dia tidak meresponsnya. Aku mendengus. Mataku masih terus menatap layar kecil ponsel, berharap dia akan segera membalas pesanku. Aku berharap dia bisa menenangkanku dan menunjukkan rasa prihatinnya. Namun, ini seperti harapan kosong. Aku melihatnya online, tapi dia bahkan sama sekali tidak membaca pesanku. Aku menggerutu dalam hati, mengumpat-umpat sendiri karena kesal tidak ditanggapi olehnya. Berkebalikan dengan Jimmy, Edward malah mengirimiku pesan pagi-pagi begini. Dengan malas aku membaca pesannya. Isinya adalah ajakan untuk pergi sarapan bersama jika aku tidak shift pagi. Aku memang tidak shift pagi, tapi aku terkapar di atas tempat tidur.

Edward memang baik hati. Dia menawarkan untuk mengantarkan sarapan untukku dan dia berhasil membuatku terdiam tanpa mampu memikirkan jawaban apapun. Kubiarkan saja layar ponsel menyala selama beberapa detik sampai akhirnya berubah menjadi hitam pekat secara otomatis. Selama beberapa detik kemudian aku masih berpikir apakah sebaiknya mengiyakan saja tawaran bantuan darinya. Ada rasa gengsi untuk menerima bantuannya, tapi di sisi lain aku memang sedang membutuhkan bantuan. Ponselku bergetar lagi. Edward memaksaku untuk menerima bantuannya. Kali ini aku memutuskan untuk memilih gengsiku. Kuletakkan ponsel di atas meja setelah mengubah mode getar menjadi mode senyap agar aku tidak mendengar isyarat ada pesan yang masuk. Aku menenangkan pikiranku dan memaksa mataku untuk terpejam, masuk lebih dalam ke alam yang paling sadar dari diriku. Aku terlarut dalamnya sampai ketukan di pintu kamarku mengacaukan segalanya. Mendadak alam itu buyar, kabur, dan perlahan menghilang. Cahaya matahari masuk menembus kaca jendela yang tidak terutup korden seluruhnya. Kupikir aku belum selesai bermimpi. Namun, suara ketukan itu semakin keras. Ini bukan mimpi, desakku pada diriku sendiri.  

“Siapa itu?” tanyaku dengan suara parau.

Lihat selengkapnya