Dengan berat hati dan keputusan yang akhirnya kubuat dengan matang, aku memutuskan untuk tidak memberitahu David mengenai kepergianku secara langsung. Aku hanya menuliskan surat pendek untuknya. Aku meminta maaf padanya karena aku pergi secara tiba-tiba. Alasanku pergi adalah aku ingin hidup normal seperti orang lain di luar sana. Aku ingin merasakan dan mendapatkan kebahagiaan yang seutuhnya sebagai seorang perempuan. Aku mencurahkan perasaanku dalam surat tersebut. Dia adalah pria terbaik yang pernah hadir dalam hidupku dan aku tidak akan melupakan dirinya selamanya. Namun, aku menyadari kesalahanku yang hadir di waktu yang tidak tepat karena aku hadir diantara David dan Dewi. Itu adalah kesalahan fatal yang selama ini selalu kusangkal dan aku rasa aku sudah cukup dengan penyangkalan ini. Ini adalah saatnya untuk kami semua mengakhiri kesalahan kami, melupakan masa lalu, dan berjalan menuju ke masa depan kehidupan masing-masing. Luka ini pasti akan memberikan bekas, tapi aku memilih untuk berdamai dengan luka itu. Aku berharap David bisa berdamai dengannya juga. Suratku diakhiri dengan permintaan terakhirku padanya. Aku memintanya agar tidak mencariku. Aku tidak akan kembali padanya, sebaliknya aku memintanya kembali pada Dewi seutuhnya.
Tak terasa air mataku mengalir dengan sendirinya. Aku tak tahu apakah ini air mata kesedihan, kelegaan, pasrah, terharu, penyesalan, atau apa. Mungkin aku terkesan mengkhianati David, tapi inilah satu-satunya kesempatan yang kupunya dan aku tidak boleh membiarkan kesempatan ini hilang begitu saja. It’s now or never. Terlepas dari semua yang sudah dan akan kulakukan, satu hal yang aku tahu pasti adalah sekarang aku sudah terbebas. Aku akan memulai segalanya dari nol kembali. Tidak masalah karena itulah konsekuensi yang harus kuterima. Aku akan dengan ikhlas merangkul kehidupan baruku dan tidak akan jatuh ke lubang yang sama untuk kedua kalinya.
Aku memandang ke sekeliling ruangan apartemen. Ruangan ini menjadi saksi bisu atas apa yang sudah terjadi, baik semua kenangan manis dan pahit. Aku melihat setiap sudut ruangan ini dengan saksama, menghayati dan menghidupkan kembali setiap memori indah yang pernah terjadi. Berbagai hiasan yang menggantung di dinding, beberapa diantaranya adalah foto kami berdua yang kupigura dan kupajang di sana dengan bangganya. Mataku tak mau melepaskan pandangan dari salah satu foto yang mengingatkan waktu yang pernah kami habiskan bersama di Singapura. Kami mengenakan baju couple berwarna biru navy. Awalnya dia tidak mau mengenakannya, tapi dia terpaksa harus menuruti paksaanku. Tak terasa aku tersenyum sendiri memandangi foto tersebut. Aku berjalan lagi menuju ke kamar kami. Kurasakan dan kuhayati setiap aroma wangi khas dari kamar kami. Egoku berusaha menghidupkan kembali kenangan kami berdua di sini. Aku duduk di ujung tempat tidur dan mengusap sprei yang pagi tadi kuganti. Lembut dan halus kurasakan pada telapak tanganku. Sambil menikmati lembutnya sprei di bawah telapak tangan, aku mengambil bantalnya dan menciumnya. Aku dapat merasakan dirinya berada dalam pelukanku. Tak mau berlama-lama di kamar, aku berjalan ke luar menuju meja makan dan menarik salah satu kursi. Aku duduk di meja makan seolah-olah dia sedang bersamaku saat ini. Memoriku mencoba memutar saat-saat bahagia yang kami habiskan di meja makan. Ketika dia berbagi kebahagiaan denganku, ketika waktu-waktu yang kami lalui seolah penuh harapan yang abadi. Ruangan ini, semua sudut ruangan ini, semuanya tentang kami. Aku melihat bayangan diriku dan David ada di setiap sudut ruangan. Kami tertawa bersama di depan TV, kami memasak bersama, mengobrol di meja makan, ketika dia membantu menenangkan diriku yang kalut, dan kami melewati malam yang panjang di sini.
Kupejamkan mataku beberapa saat untuk menenangkan pikiran dan perasaanku yang bergejolak. Tidak kusangka pada akhirnya aku melakukan semua ini. Kubuka mataku dan kulihat di depanku sudah berjajar kopor dan tas. Bayangan diriku dan David yang memenuhi semua sudut ruangan hilang tak berbekas. Kesadaranku sudah kembali dengan utuh. Aku harus bergegas sekarang. Sambil memantapkan hati, aku melangkah keluar apartemen dan mengunci pintu. Mengunci rapat-rapat semua kenangan manis yang pernah ada.
***
Langit kota Yogyakarta terlihat cerah dari dalam pesawat. Meskipun tidak secerah hati dan perasaanku, aku tetap berharap mendapatkan kedamaian dan ketenangan di kota ini. Kulirik jam tanganku. Dalam beberapa menit lagi pesawat akan landing. Aku masih punya beberapa saat untuk menimbang apakah perlu menghubungi Mitha sekarang. Namun, kuurungkan niatku itu. Maybe later.
The Rich Lotus Hotel. Akhirnya aku tiba di sini. Lagi. Sesampainya di kamar, kulepas cardigan dan sepatuku, lalu langsung berbaring di atas tempat tidur. Rasanya lelah sekali. Entah kenapa, aku tak tahu. Kulirik lagi isi ponselku, masih berharap nama David muncul di pop up, tapi alhasil nihil. Dia masih menghilang entah ke mana. Mungkin ketika nanti dia mendapati kepergianku, dia akan merasa tenang dan lega karena akhirnya aku pergi selamanya dari kehidupannya. Sambil masih berbaring dengan mata yang setengah terkantuk, bayangan wajah Mitha muncul kembali dalam benakku. Apakah sebaiknya aku menghubunginya sekarang? Terlintas pertanyaan menyebalkan yang membuatku terusik. Akhirnya kuputuskan tanpa banyak pikir panjang lagi kalau aku harus menghubunginya sekarang juga.
Malam, Mitha… Maaf ganggu, apakah Mitha masih kerja di Rich Lotus Hotel?