Percakapan pertamaku dengan Mitha terus terngiang dalam kepalaku. Aku merasa bersalah telah membohonginya, tapi aku tak mungkin jujur padanya kalau aku sebenarnya sedang kabur dari David. Jika dia tahu yang sebenarnya, dia akan memandangku dengan cara yang berbeda. Lagipula, aku juga belum punya bayangan akan seperti apa hubunganku dengannya. Ini bukan waktu yang tepat untuk membuka identitasku atau meminta bantuan darinya. Saat ini aku masih memantau keadaan dan menenangkan diri untuk menata hidupku. Meskipun begitu, aku ingin ada seseorang yang dapat kuajak bicara. And I think it has to be a stranger so I can completely start from the beginning.
Aku menghapus semua hal yang berhubungan dengan David, termasuk mengganti nomor dan menghapus semua akun media sosialku. Aku pikir akan lebih baik jika seperti ini. Sudah tidak ada lagi apapun tentangnya dan semua aksesnya kepadaku sehingga tidak akan ada jalan untuk kami berdua kembali. Di satu sisi aku merasa damai karena hidupku sudah terbebas darinya. Aku mulai memikirkan masa depanku dan tidak lagi dibelenggu pria tersebut. Namun, di sisi lain ada hal yang masih mengusik pikiranku. Ini tentang kasusnya dan apa yang mulai diangkat media ke publik. Tentu saja aku masih mengikuti perkembangan kasusnya yang mulai muncul menghiasi wajah berbagai media massa. Aku mendengus setiap kali mendengar news anchor yang mengatakan hal yang tak jauh berbeda dari berita lain. Apa mereka tidak bisa memisahkan masalah pribadi dengan masalah hukum? Mereka, para jurnalis iseng itu, mulai menyinggung soal keberadaanku dan ini sangat mengusik ketenanganku. Meskipun aku sudah berada ribuan kilometer jauhnya dari David, tetap saja aku merasa tidak aman. Rasanya seperti ada bayang-bayang sosok David yang selalu membuntutiku ke manapun aku pergi.
Sementara di sisi lain, bayangan Nabila terus mengusikku. Aku memang selalu berniat menghubunginya dan ingin memperbaiki hubungan kami yang kurusak sendiri, tapi ketakutan akan penolakan selalu membayangiku. Di saat kini aku sudah siap menghubunginya, rasa ragu menyergap diriku. Apakah aku masih harus mencoba menghubungi Nabila lagi? Aku tahu dia sudah menolakku ratusan, bahkan ribuan kali, tak terhitung rasanya. Namun, kali ini aku harus menghubunginya, apapun yang terjadi. Aku sudah berubah dan aku yang sekarang bukanlah aku yang dulu. Seharusnya pintu maafnya terbuka untukku.
Kutelepon nomor yang berakhiran 89 itu… Mungkin kali ini keberuntungan ada di genggaman tanganku. Beberapa kali nada telepon berdering dan tidak ada jawaban, sampai di suatu titik…