Fall in Love with Devils

judea
Chapter #33

Mitha

Edward memang benar-benar menjengkelkan! Kali ini dia benar-benar berhasil membuatku geram padanya. Kegeramanku kali ini sudah sampai ubun-ubun. Bagaimana tidak? Dia sudah janji akan menyusulku ke Malioboro, tapi kenyataannya dia membatalkan seenak jidat ketika aku sudah sampai di sini. Alhasil aku pun menjelajahi Malioboro sendirian. Dia terus mengirimiku pesan singkat melalui Whatsapp dan terus meneleponku untuk meminta maaf, tapi aku tidak meladeninya. Kali ini aku benar-benar marah dan aku tidak ingin berbicara dengannya ataupun mendengar penjelasannya. Karena kesal, aku berhenti sejenak dan duduk di bangku yang ada di pedestrian Malioboro ini. Aku harus menenangkan perasaanku dan mendinginkan kepalaku sementara benda kecil di dalam tasku masih bergetar-getar seperti mau meledak. Awalnya kupikir benda kecil itu tidak akan bergetar, tapi ternyata akhirnya berhenti juga. Baru saja hendak mengambil benda kecil di dalam tasku, kurasakan ada getaran lagi. Tanganku berhenti di dalam tas. Siapa itu? Cepat-cepat kukeluarkan ponselku dan ternyata kali ini adalah Jimmy Halim. Dia mengirim pesan Whatsapp padaku. Cepat-cepat aku membalasnya. Aku mengadu padanya kalau aku sedang berada di Malioboro sendirian karena temanku tidak jadi menemaniku secara tiba-tiba, seolah mengadu padanya akan mengubah kenyataan saat ini, seolah mengadu padanya akan membuat dia menyusulku ke sini agar aku tak sendirian. Meskipun dia atau siapapun tidak akan datang ke sini menemaniku saat ini juga, hadirnya dia secara virtual sudah cukup menemani diriku. Dia mengatakan seandainya dia juga berada di Jogja, dia akan dengan senang hati menyusulku agar aku tak sendirian. Aku tersenyum tipis membaca kalimatnya. Seandainya… Bayangan dirinya berada di sampingku membuatku tersenyum seperti orang gila. Aneh karena orang asing sepertinya bisa mencuri perhatian dan pikiranku. Kupejamkan kedua mataku dan kubuka kembali untuk menghilangkan bayangan Jimmy Halim. Aku menebarkan pandangan ke sekeliling. Orang-orang sibuk berlalu-lalang melewati tempatku duduk. Tua, muda, anak-anak, laki-laki, perempuan, semua melebur menjadi satu keramaian. Sekali lagi aku menebarkan pandangan ke sekelilingku sampai mataku menangkap sosok seorang perempuan yang tidak asing. Melly? Kukerjap-kerjapkan mataku, tidak percaya dengan apa yang baru kulihat. Ya, itu Melly. Tidak salah lagi. Tidak mungkin salah. Dia sedang sibuk melihat-lihat di pedagang kaki lima yang berjajar di sepanjang pertokoan Malioboro.

Aku langsung mengabaikan Jimmy Halim dan dengan cepat bergerak menembus kerumunan orang yang berjalan berlawanan arah denganku. Dia masih di sana. Entah apa yang ada di pikiranku, tapi sepertinya aku sudah nekat tanpa memikirkan apa yang mungkin bisa terjadi. Segala kemungkinan-kemungkinan dan asumsi bergejolak dalam pikiranku, membuatku merasa terburu-buru dan harus bergerak cepat. Aku tidak peduli dengan gejolak yang ada di dalam benakku, kakiku terus melangkah dengan cepat ke arahnya sampai akhirnya jarak diantara kami hampir tak ada. Dia menoleh ke wajahku. Sesaat diam, kemudian mengernyit dengan tatapan terkejut. Mungkin dia tidak pernah mengira kalau akan bertemu denganku di sini.

Aku seharusnya menyapanya, memanggil namanya, memberikan senyuman dan wajah teramahku. Sebaliknya, aku hanya terpaku dalam kebekuan di hadapannya. Mata bertemu mata dengan tatapan yang saling tidak percaya. Dia berdiri di hadapanku dengan tatapan yang tidak kalah beku. Berbagai kata-kata yang harusnya kuucapkan pada pertemuan pertama kami ini tercekat di tenggorokanku. Aku merasa sesak napas dan tidak dapat berkutik. Semua kata-kata yang ingin kuucapkan mengganjal di tenggorokan, memberikan sensasi tercekik yang sangat mengganggu. Perempuan yang berhadapan denganku secara empat mata ini perlahan melangkah mundur. Perlahan, tapi pasti, tanpa bisa kucegah. Melly berlari meninggalkanku yang kebingungan seperti orang linglung. Tersadarkan bahwa dia berlari menghindariku, aku lantas mengejarnya. Namun, dia lebih cepat dibandingkan aku dan kini dia menghilang entah ke mana. Aku berhenti sejenak sambil terengah-engah. Sejenak aku merasa apa yang kulakukan tadi itu bodoh. Bodoh, bodoh, bodoh, dasar bodoh! Kuhentakkan kakiku dengan keras ke trotoar sampai orang-orang di sekitar terkejut dan memperhatikanku. Aku bersandar pada dinding salah satu toko dengan kedua tangan memegangi kedua lutut sambil sedikit membungkukan badan. Dengan berusaha keras, aku memaksa napasku agar kembali ke ritme normalnya. Jantungku yang masih berdetak cepat belum bisa diajak kompromi. Lelah dengan semua ini, aku duduk menggelosor begitu saja dengan bersandarkan dinding sambil menutupi wajah dengan kedua tangan. Sungguh, aku tidak mengerti lagi apa yang sedang kupikirkan. Aku sudah gila. Siapa dia sehingga aku mau mengejarnya seperti ini? Sebaiknya aku pulang saja dan menghentikan semua kegilaanku ini. Kegilaanku meladeni orang asing yang mungkin saja gila telah membuatku terseret ke dalam perangkap sintingnya!

“Mitha?”

Tiba-tiba kudengar ada suara seorang perempuan memanggil namaku. Aku tidak salah dengar, kan? Aku mengangkat wajahku dan hampir saja aku terperanjat. Melly berdiri tepat di hadapanku. Dahiku mengernyit dan aku mengangkat tubuhku berdiri dengan sempoyongan masih kelelahan akibat aksi kejar-kejaran tadi. Tetap saja aku tidak tahu harus berkata apa. Sensasi tercekik kembali mengikat leherku. Bedanya, kini sensasi ini terasa lebih menyakitkan sampai aku harus memegangi leherku.

Melly memberikan tangan kanannya ke arahku. Senyumnya yang manis memperlihatkan deretan gigi putihnya. Meskipun masih merasa ragu-ragu dan kebingungan, aku menyambut gesture ramahnya tanpa pikir panjang.

Lihat selengkapnya