Aku tak menyangka akan bertemu dengannya di sini, di tempat seramai Malioboro ini. Awalnya aku ragu untuk menghadapinya secara face to face. Aku takut dia akan marah padaku dan mengkonfrontasiku di depan orang banyak. Sebaliknya, penerimaanlah yang aku dapatkan. Meskipun kami masih canggung satu sama lain, tapi dia mulai berusaha bersikap senatural mungkin. Kami mengobrol sambil berjalan sepanjang Malioboro. Dia menanyakan hal-hal umum, seperti kuliah, pekerjaan, dan kesukaanku. Aku pun menanyakan hal yang sama padanya. Selebihnya, kami banyak mengobrol soal hotel The Rich Lotus tempatnya bekerja. Yap, tempat bekerjanya menjadi topik bahasan yang paling aman dan the only thing that we have in common. Selama aku mengobrol dengannya, aku menilai dia orang yang menyenangkan. Tidak banyak neko-neko dan terlihat seperti anak rumahan yang sangat baik-baik.
Setelah banyak mengobrol dan aku mulai lelah berjalan, aku berinisiatif mengajaknya makan, tapi dia menolak. Sebenarnya aku hanya ingin berusaha baik kepadanya, membuatnya merasa nyaman dan tidak berpikir kalau aku punya niat jahat padanya. Bagaimanapun, ada perasaan bersalah dalam hatiku karena aku sudah ‘mengganggu’nya selama ini. Namun, aku memahaminya jika dia masih canggung denganku dan masih ingin membatasi interaksi kami. Kami baru saja saling mengenal. Tidak mungkin dia akan membuka dirinya secara langsung. Begitu juga denganku, sangat tidak mungkin bagiku untuk membuka diri padanya secara langsung karena bisa-bisa dia akan menolakku selamanya.
Kami berpisah dan dia janji akan bertemu denganku lagi. Dia mengatakan bahwa dia welcome terhadapku dan jika aku merasa bosan atau butuh teman mengobrol, aku diperbolehkan datang ke The Rich Lotus Hotel. Dia akan dengan senang hati menemuiku di pool café. Aku masih tak bisa mengira-ngira apa maksudnya. Aku tak bisa membaca ekspresi wajahnya, apakah dia tulus atau tidak. Satu hal yang aku tahu pasti, kami akan bertemu dan dia tidak akan menolak kehadiranku selanjutnya.