Mobilnya melaju dengan kecepatan sedang di jalan tol yang lumayan lengang pagi ini. Kulirik jam tanganku, masih pukul sepuluh pagi. Matahari sepertinya sedang setengah bersembunyi di balik gumpalan awan yang menggantung di langit membuat hari ini tidak begitu terik. Kami sampai di Pantai Indah Kapuk atau yang lebih sering disingkat PIK. Kawasan ini terletak di daerah Jakarta Utara yang luas dengan pusat kulinernya yang luar biasa. Tempat ini lebih hidup kalau dikunjungi malam hari, kata Jimmy Halim. Kurasa dia ada benarnya. Sepanjang mata memandang yang terlihat deretan ruko yang dijadikan café dan restoran. Berbagai macam kuliner sepertinya jadi satu di kawasan ini, dari restoran yang lebih cocok untuk makan besar bersama keluarga sampai café semi pub dengan tawaran live music dan liquornya. Dia mengajakku mampir ke sebuah café yang katanya terkenal di sana. Café yang tidak terlalu besar, tapi didesain dengan sangat rapi, homie dan cozy. Letaknya agak masuk ke bagian ruko yang terletak di belakang ruko-ruko yang langsung menghadap ke jalan utama.
Dia memarkirkan mobilnya dengan perlahan dan rapi. Aku mengikutinya dari belakang masuk ke dalam café tersebut yang bernama Wonder Café. Lelaki muda berbadan tegap dan berkulit putih yang berdiri di meja kasir menyambut kedatangan kami. Kami langsung memesan menu di kasir dan lagi-lagi Jimmy Halim yang membayar lunas semuanya.
Wonder Café memiliki dua lantai sehingga kami memilih duduk di lantai dua, tepatnya di meja yang berada dekat jendela. Desain interior café ini rapi dan elegan. Warnanya lebih banyak didominasi putih dan krem. Kursi-kursinya terbuat dari kayu dengan finishing warna cokelat muda mengilap. Pajangan dinding seperti quotes romantis menghiasi dinding café. Satu meja disediakan hanya untuk maksimal empat orang. Sebenarnya aku meragukan kata-katanya kalau café ini cukup terkenal di kawasan PIK karena pengunjung café terbilang tidak banyak. Pikiran burukku mengatakan kalau dia hanya ingin berdua bersamaku di tempat yang tidak terlalu ramai. Entahlah, aku tak bisa berpikir dengan jernih jika dia bersamaku.
Aku memberanikan diri menanyakan padanya kenapa tempat ini sepi, hanya untuk basa-basi. Dia menjawab dengan yakin kalau sebentar lagi tempat ini akan ramai karena dia cukup sering ke sini.
“Dengan siapa?” Aku mencoba memancingnya karena dia terkesan menutup-nutupi statusnya. Di mataku dia terlihat abu-abu, antara masih lajang dan sudah tidak lajang. Maka dari itu, aku harus tahu dengan siapa aku berurusan sebelum aku menentukan langkahku yang lebih jauh.
Dia tidak langsung menjawab pertanyaanku, melainkan tersenyum sambil menatap lekat-lekat mataku, membuatku nervous seperti dia yang sedang menyelidiku. Aku berharap dia berbohong padaku saja daripada harus mengatakan hal yang jujur yang akan melukai hatiku. “Teman-teman, dong.” Hembusan napas lega keluar dari mulutku dengan perlahan. Tanpa kuduga, dia berani menggenggam tanganku. Jantungku berdebar melihat tindakannya, tapi tubuhku kaku dan diam saja di tempatnya tidak berkutik. Aku membiarkannya menggenggam tanganku. Sesekali aku melihat ke luar jendela dari tempatku duduk karena tak punya nyali untuk terus menatapnya. Pemandangan yang terhampar di depan mata adalah jalanan kompleks ruko yang tidak ramai, di mana pepohonan yang tinggi dan lumayan rimbun menghiasi sisi-sisi jalan memberikan kesan sejuk dan tenang.
***
Sehari bersamanya benar-benar tidak terasa. Sejak matahari masih bertengger di atas langit sampai matahari sudah mulai membenamkan dirinya di sebelah barat. Meskipun pagi sudah berganti malam, kami masih berkutat di PIK. Pergi bersamanya tidak ada habisnya. Maksudku, semua hal bisa menjadi topik pembicaraan bersamanya. Apalagi bagiku yang super kikuk dan tidak tahu bagaimana harus membawa diri di hadapannya. Perlahan tapi pasti aku mulai bisa membuka diri padanya. Aku mulai menceritakan keberadaan keluargaku di luar kota, pengalaman kuliahku, dan pekerjaan saat ini sampai soal Edward. Bahkan, dari perbincangan kami, aku akhirnya tahu kalau ternyata dia mempunyai usaha jual beli mobil mewah di samping bekerja di perusahaan.
Satu hal yang kusuka darinya adalah perhatiannya yang penuh. Selama seharian penuh bersamanya, dia hampir tidak pernah sibuk dengan ponselnya saat aku sedang berbicara atau saat kami sedang bersama. Dia hanya sesekali memeriksa isi ponselnya dan setelah itu dia akan kembali padaku. Dia fokus denganku.
“Ke sini, yuk?” tanyanya ketika kami berjalan melewati satu pub yang cukup ramai dan heboh dengan live music. Tanpa membutuhkan persetujuanku, dia langsung menggenggam tanganku dan menarikku masuk. Pub itu memiliki dua lantai. Live music berada di lantai satu dan kami memesan satu meja yang tepat menghadap langsung ke arah panggung live music. Tampak penyanyi dengan rambut curly berwarna cokelat pirang beralut dress mini warna merah sedang asyik melantunkan lagu Maroon 5 yang berjudul Memories.
Dia memesankan soju untuk kami berdua. Dia tampak larut menikmati musik dan suasana di sekeliling kami.
“Is it okay?” tanyaku.
Dia menoleh kepadaku, “What?”