Mitha meneguk lemon tea yang sudah hampir habis. Dia meminta maaf karena tidak menghubungiku saat dia pergi ke Jakarta. Namun, gerak-geriknya aneh. Dia tidak seperti dia yang biasanya. Dia kelihatan gugup di hadapanku, seolah telah melakukan kesalahan besar padaku. Mungkin dia merasa bersalah karena sudah membuatku mencarinya, tapi itu bukan masalah besar buatku.
“Ada apa, Mit?”
Dia menatapku dengan tatapan cemas. Bisa kupastikan kedua telapak tangannya pasti dingin. Matanya menghindar tatapanku dan dia membuang wajahnya. Aku membiarkannya diam sejenak. Mungkin dia sedang berusaha menata hati dan pikirannya. Aku tidak akan memaksanya.
“Ada sesuatu yang harus kukatakan padamu.”
Nada bicaranya terdengar kaku, datar, dan serius. Seketika suasana menjadi horror dan mencekam.
“Kau berusaha menjualku, kan?” Tatapan matanya kini nanar penuh kemarahan. Dadanya terlihat naik turun menahan amarah dan luapan emosi.
Aku tersentak terkejut. “Apa maksudmu?”
“Tidak usah bohong!” Nada bicaranya yang mulai naik membuatku tidak nyaman. Kami berada di mall yang merupakan tempat umum. Kalau sampai dia berteriak-teriak tak jelas akan sangat memalukan.
“Apa maksudmu, Mitha? Aku bersumpah kalau aku tidak tahu apa-apa. Siapa yang mau menjualmu?”
Dia menyandarkan punggungnya pada kursi dan menutupi wajahnya dengan kedua tangannya, kemudian dia mengacak-acak rambutnya seperti orang yang sedang tertekan. “Aku bertemu dengan kakakmu, Novi.”
Aku tidak percaya dengannya. “Bagaimana kau tahu dia adalah kakakku?”
“Kau tidak perlu mengelak. Kalian semua menjebakku, kan? Kau, kakakmu, dan pria itu. Jimmy Halim.” Mitha terlihat kalut. Dadanya masih naik turun menahan luapan emosi yang meledak-ledak. Wajahnya merah padam, kedua tangannya dikepalkan seolah sedang menahan agar tidak memukulku. “Aku tidur di apartemen Jimmy Halim dan bertemu dengan istrinya. Kakakmu, Novi.”