Jimmy Halim masih terus menghubungiku. Dia menanyakan apa keputusanku terhadap tawarannya. Jika aku merasa nominal yang dijanjikannya terlalu sedikit, dia memintaku untuk memberitahunya. Dia bahkan berani memberikan uang muka padaku terlebih dahulu agar aku mempercayainya. Yang benar saja! Dia pikir ini adalah jual beli barang? Aku sungguh-sungguh merasa terkhianati. Dia membuatku jatuh hati padanya demi suatu tujuan yang tak pernah terpikirkan olehku. Dia mengatakan akan memberikanku waktu satu bulan untuk memikirkannya dan mengirimkan salah satu surat perjanjian yang pernah dilakukannya dengan perempuan lain. Apa yang dilakukannya membuatku tidak habis pikir. Dia terus saja mendesakku, memohon-mohon padaku. Jika dia terus memperlakukanku seperti ini, bagaimana aku bisa kebal terhadapnya? Aku jatuh hati padanya, tapi…moralitas dalam diriku yang terbentuk oleh tatanan sosial selama dua puluh tiga tahun aku hidup mengatakan it’s not supposed to be like this. How complicated!
Kerumitan yang dibuat Jimmy Halim kini beradu dengan rasa bersalah yang terus menghantuiku. Aku tak bisa menyingkirkan rasa bersalahku pada Sharon. Rasa ini menempel terus pada diriku seperti benalu, mengisap seluruh tenaga dan emosiku hingga habis tak bersisa. Kata-kataku yang mengkonfrontasi Sharon terasa menyakitkan dan salah. Aku telah bertindak gegabah menuduhnya bekerjasama dengan Novi dan Jimmy Halim. Tak tahan dengan rasa yang menyesaki dadaku dan demi menebus rasa bersalahku, aku memutuskan menghubunginya. Aku berniat meminta maaf atas perlakuanku padanya kemarin. Sayang sekali kenyataan berkata lain. Nomornya sudah tidak aktif saat kuhubungi. Aku mencoba mengirimkan pesan singkat di Whatsapp, tapi sama saja. Hanya centang satu. Apakah dia sudah check out dan kembali ke Jakarta? Atau, dia marah kepadaku dan memblokir nomorku? Hentikan, Mitha! Pikiran toxic ini hanya makin memperburuk perasaanku apalagi ditambah dengan aku yang tidak bisa memeriksa keberadaannya langsung karena hari ini adalah jadwal liburku. Dalam hati aku bertanya pada diriku sendiri apa yang terjadi dengannya?
***
Ponselku bergetar-getar terus, membangunkanku dari tidur panjangku. Dengan malas aku meraih ponselku yang tertumpuk bantal. Kulihat nama Reymond terpampang jelas di layar ponsel. Aku mendengus kesal sambil mengumpat sebelum menjawab teleponnya. Sedetik kemudian aku baru menyadari kalau ini sudah bukan pagi. Sudah hampir jam sebelas siang. Mataku langsung terbelalak.
“Halo?! Ngapain sih – ”
“Mitha! Kamu ke hotel sekarang!” suaranya keras, lantang, dan panik. Mendengar seorang Reymond dengan nada bicara seperti itu membuatku merinding. Pasti ada yang tidak beres.
“Ada apa, Rey? Double check in lagi?” tanyaku dengan nada bicara yang super malas.
“Teman kamu meninggal. Cepat ke sini!” Telepon ditutup.
Temanku meninggal? Tubuhku mendadak jadi kaku. Mulutku terkatup-katup tak jelas. Otakku serasa membeku dan aku kehilangan kemampuanku untuk berpikir dengan jernih. Apakah dia tega menghabisi nyawanya sendiri setelah pertemuannya denganku? Ini tidak mungkin terjadi. Tidak mungkin!!!
***
Sekitar jam dua belas siang aku sampai di hotel. Hotel ramai dengan wartawan dan polisi. Aku ketar-ketir kalau-kalau aku harus menjadi saksi hingga berurusan dengan kepolisian. Reymond menyuruhku masuk lewat pintu samping demi menghindari kerumunan polisi dan wartawan yang berkumpul di lobi. Keadaan lobi hotel sekilas sudah sama seperti pasar. Kacau balau dan sangat ramai. Terlihat General Manager kami dan beberapa staf public relation sedang berusaha menjawab pertanyaan dari para wartawan yang haus akan berita.
Aku berlari kecil. Lobi hotel benar-benar crowded. Dengan secepat kilat aku melesat ke back office kami. Di meja resepsionis hanya ada Maya. Dia melirik sinis saat melihatku datang. Back office pun tak kalah ramai dengan lobi hotel. Semua staf area front office, mulai dari bell boy, concierge, dan front desk agent berkumpul menyesaki ruangan back office yang sempit ini. Bu Tirsa sedang berceramah dengan volume suara yang lirih ketika aku masuk, dan semua orang langsung melihatku dengan tatapan penuh pertanyaan seolah-olah akulah saksi kunci semua keonaran dan kegaduhan ini.
“Mitha, ayo sini. Barusan saya tanya ke mereka apakah ada yang kenal dengan Sharon secara personal, dan semua kompak menjawab bahwa mereka sering melihatmu mengobrol dengannya di pool cafe. Betul?”
Di saat menegangkan seperti ini kata-katanya menjadi berkali-kali lipat menyeramkan dan membuat bulu kuduk merinding, ditambah dengan semua mata yang menatap tajam ke arahku. Setiap tatapan mereka penuh tanda tanya dan menuntutku menjelaskan segala sesuatu yang telah terjadi di sini. Aku tertunduk merasa tertuduh. Udara di sini terasa menyesakkan dadaku. Bagaimana aku harus jujur di hadapan mereka?
“Semua itu benar, Bu. Saya memang mengenalnya dan beberapa kali mengobrol bersamanya. Tapi… Kejadian ini… Saya tidak tahu apapun sama sekali.”