Cinta dapat menjadi berkat atau kutukan bagimu. Ia akan menjadi berkat ketika kau mengikuti kemauannya dengan logika. Ia akan menjadi kutukan ketika kau hanya mengikuti kemauannya dengan perasaan. Ketika kau melakukan semua perbuatanmu atas nama cinta, semua perbuatan baik dan burukmu, kau akan menyesal karena pada akhirnya cinta tidak akan bisa menebus rasa bersalahmu. Itulah yang terjadi padaku. Cinta yang mempertemukan kami dan cinta juga yang memisahkan kami. Cinta yang membuat kami memberi retak di dalam hubungan kami, lalu kami mengembangkan retakan-retakan kecil itu semakin banyak dan semakin besar. Kini, retakan yang besar itu menjadi jurang pemisah di antara aku dan Brian. Cinta sama seperti senjata makan tuan. Ketika kau tidak menggunakannya dengan berhati-hati, maka kau akan termakan olehnya.
Kini aku berbaring sendirian di ruangan ini, ruangan yang pernah kuimpikan akan menjadi rumah kami berdua. Rumah… Aku tersenyum kecut mendengar kata itu. Home is the safest place. No, it should be like this: home should be the safest place. Namun, aku tidak merasakannya sama sekali di sini. Bahkan di saat-saat paling terpuruk dalam hidupku, dia tega pergi meninggalkanku. Aku membaringkan diriku meringkuk memeluk satu bantal membelakangi pintu kamar. Kucoba merasakan kehadirannya di sini, saat ini, bersamaku. Pikiranku berusaha menghidupkannya sendiri. Aroma tubuhnya bisa kurasakan dengan jelas dari sprei dan bantal yang kupeluk erat. Pikiranku penuh pertanyaan. Apakah dia merasakan hal yang sama denganku? Kucoba memejamkan kedua mataku untuk melarikan diri sejenak dari kelumpuhan diriku ini saat suara getaran ponselku di atas meja membuyarkan semua kagalauanku. Getarannya membuatku terdiam sejenak. Aku berspekulasi jika itu adalah telepon dari Brian. Ternyata dugaanku salah. Mithalah yang menghubungiku. Melihat namanya tertera di layar ponsel membuatku mengernyitkan dahi. Aku baru sadar kalau sudah lama aku tidak berkontak dengannya. Apa yang terjadi dengannya?
“Halo?”
“Melly…” Suaranya terdengar parau dan penuh keputusasaan.
“Mitha, ada apa? Ada yang bisa kubantu?” tanyaku perlahan-lahan.
Mitha tidak menjawab pertanyaanku selama beberapa saat. Dia membuat jantungku semakin berdebar. Sepertinya ada yang tidak beres dengannya, pikirku.