Telepon dari Ibu pagi ini membuat perasaan dan pikiranku kacau balau. Aku tak mengerti harus merespons bagaimana. Kenapa semua cobaan datang bertubi-tubi di saat yang bersamaan? Aku hampir tidak percaya ketika Ibuku mengatakan bahwa selama ini sakitnya adalah gejala dari penyakit mematikan yang didiagnosisnya, yaitu tumor ganas di rahim. Ibu memberitahu bahwa diagnosis dokter tersebut sudah sejak tiga bulan yang lalu, tapi dia belum mempunyai keberanian untuk memberitahuku. Bahkan, dia sempat berpikir untuk tidak memberitahuku. Namun, dia tidak tega jika ajal menjemputnya dan aku tidak mengetahui apapun mengenai penyakit mematikannya. Tak terbayang olehku biaya pengobatan yang akan membengkak dan selangit sementara Ibu hanya bergantung pada dirinya sendiri dan diriku. Tak pernah muncul dalam benakku kalau Ibu harus berjuang melawan penyakit mematikan seperti ini. Aku harus melakukan sesuatu untuk menyelamatkan nyawa perempuan yang telah melahirkanku itu. Di saat seperti ini tawaran Jimmy Halim membuatku berpikir mungkin inilah jalan yang diberikan Tuhan untuk menolongku. Tanpa banyak pikir panjang lagi aku mengambil ponselku dan menelepon Jimmy Halim.
“Tolong kirimkan draft perjanjiannya. Aku akan mereview dulu sebelum memutuskan apapun.” Aku dapat merasakan senyumnya mengembang puas di seberang sana.
“Ok. Akan kukirim hari ini. Oya, waktumu untuk memutuskan hanya tinggal seminggu lagi.”
Aku mengakhiri telepon kami tanpa mengucapkan apapun. Kuakhiri begitu saja. Meskipun aku tahu melakukan surogasi bagi Jimmy dan Novi hanya akan membuatku semakin teringat pada sosok Sharon, tapi aku tak bisa memikirkan jalan lain yang lebih baik demi nasib Ibuku. Selain itu, bayangan wajah Jimmy dan keinginanku untuk memilikinya tak bisa lepas dari ingatanku. Kini setiap kali sosoknya menghantuiku, terngiang kata-kata Sharon di pertemuan terakhir kami. “Mengenai permintaan mereka, apa rencanamu? Kumohon jangan melakukannya.” Kata-katanya terus terngiang menggangguku, tapi aku tak bisa untuk mengatakan tidak. Semuanya begitu menggodaku, semua bayangan Ibu yang harus berjuang melawan sakitnya, semua imaji bahwa aku akan bersama Jimmy Halim meskipun sebentar saja. Aku tidak pernah merasa sesemangat ini ketika aku bersama Edward atau lelaki lain mana pun. Jimmy Halim berbeda dari yang lainnya dan sadar atau tidak aku sudah mengaguminya right in the very first place. Ketika kemudian dia memberikan kartu namanya padaku, itu hanyalah sebuah undangan untukku lebih mendekat kepadanya, untukku menyadari kalau aku menginginkannya. Kini kondisiku yang serba terhimpit membuatku semakin tak punya pilihan lagi. Apakah ini jalan yang benar? Apakah melakukan surogasi sama dengan melakukan dosa besar? Benarkah jika cinta harus membuat seseorang berkorban begitu dalam seperti yang akan kulakukan? Kutanyakan pertanyaan-pertanyaan yang menyiksa itu berulang kali pada diriku sendiri. Siang dan malam. Sampai akhinya aku mendapatkan jawaban dari diriku sendiri kalau aku akan melakukan semua ini atas nama cinta.