Kami duduk di meja yang sama tempat kami bertemu di sini pertama kali. Namun, kini atmosfer yang menyelubungi kami berbeda. Kami sama-sama bertemu dengan membawa beban yang berat. Selama beberapa saat kami hanya saling terdiam di tempat kami masing-masing, berhadapan tidak saling menatap namun tenggelam dalam pikiran buntu kami sendiri. Aku tak tahu bagaimana harus memulai percakapan ini. Mungkin dia sedang merasakan hal yang sama. Dalam hati aku berharap apa yang ingin diceritakannya tidak ada hubungannya dengan pemberitaan yang beredar mengenai pembunuhan misterius yang terjadi di tempatnya bekerja.
Keheningan diantara kami semakin mencekam dan membuatku merasa terancam, entah kenapa. Aku berdeham sebelum membuka percakapan kami. “Kita sudah lama tidak bertemu.” Aku berharap dia akan meresponsku dengan jawaban yang menjelaskan alasannya menghilang selama ini. Ternyata responsnya di luar dugaanku. Dia ini memang penuh kejutan. Kejutan apa lagi yang akan dia berikan?
“Mungkin kita tidak akan bertemu lagi.”
Kata-katanya membuatku terenyak. “Apa maksudmu?”
“Aku ingin bertemu denganmu karena aku ingin berpamitan. Aku akan pergi.”
“Ke mana?” Hampir saja aku meninggikan nada bicaraku.
“Berjanjilah padaku, jangan ceritakan ini pada siapapun. Aku tidak tahu harus bercerita ke siapa. Aku pikir kau orang yang tepat.”
Dia mulai menceritakan soal keputusannya untuk menjadi ibu surogasi bagi pria yang bernama Jimmy Halim, juga Ibunya yang ternyata baru diketahuinya sedang berjuang melawan penyakit yang mematikan. Dia menceritakan semua detilnya dari awal pertemuan mereka sampai dengan wanita bernama Sharon yang terbunuh secara misterius. Bayangan sosok Sharon di pool café membuatku dejavu, kembali ke masa-masa itu. Semua ketakutanku tentang pembunuhan wanita itu dan hubungan Mitha dengan wanita itu ternyata benar. Mitha mengatakan dia tidak ingin melakukan surogasi, tapi keadaan Ibunya sebagai satu-satunya orang yang dimilikinya membuatnya tak bisa memikirkan jalan lain. Di samping itu, dia pun tak bisa mengelekkan dorongan untuk bersama pria yang dia kagumi sejak pertama kali bertemu. Dalam keadaannya sekarang, pilihan yang dimilikinya adalah tidak mempunyai pilihan. Hatiku hancur mendengar kata-katanya. Cinta dapat menjadi berkat atau kutukan, tergantung bagaimana kau berurusan dengannya. Gagasan menjadi ibu surogasi terdengar sangat salah di telingaku. Aku tidak bisa membayangkan satu perempuan lagi tertipu dan dibutakan oleh nama cinta.
“Tidak ada orang yang tidak punya pilihan, Mitha. Kau sangat punya pilihan untuk memilih.”