Fall in Love with Devils

judea
Chapter #47

Mitha

Hatiku tertohok saat dia menceritakan semuanya. Semuanya. Tantang apa yang dialaminya selama ini. Kami terdiam dalam kebisuan kami masing-masing yang terasa sangat hampa dan kosong. Pertanyaannya terus terngiang dalam kepalaku. Apakah aku mau berakhir sepertinya? Tentu tidak, tapi… Aku masih terus terdiam, terpaku. Pikiranku seperti benang kusut. Dalam keadaan begini, aku merasa sangat bodoh. 

Langit terlihat begitu murka dengan menggantungkan awan mendung di atas sana ketika kami berpisah. Entah kenapa sesampainya di kos perasaanku jadi tidak enak. Kata-kata Melly tadi terus terngiang-ngiang memutari kepalaku seperti seekor lebah yang terus mendengung di telinga. Kuperiksa isi Whatsappku dan kutemukan nama Jimmy Halim berada di deretan paling atas, disusul dengan nama Novi. Mereka masih mengirimkan pesan yang sama, yaitu menanyakan apakah aku sudah membaca perjanjian tersebut secara keseluruhan. Mereka akan membelikanku tiket peswat ke Jakarta untuk menandatangani suratnya. Mereka terus mendesakku, meminta belas kasihan dariku. Sebagai sesama perempuan aku tak kuasa melihat penderitaan Novi. Aku tidak tega melihatnya tersiksa di atas kursi roda seperti itu dan menginginkan seorang anak. Namun, jika aku melakukan surogasi, maka aku sama saja seperti bunuh diri dan membunuh orang lain. Aku akan membuat diriku tersiksa dengan penyesalan yang mungkin tak berujung, dan di saat yang bersamaan aku akan menyakiti hati Novi karena aku akan tidur dengan suaminya. Apakah aku tega menyakiti hati sesama perempuan?

Jam demi jam berlalu. Kuputuskan untuk menelepon Melly karena pikiranku sudah begitu buntu. Meskipun jam sudah menunjukkan hampir tengah malam, aku tak memedulikannya. Aku tetap menelepon Melly. Keberuntungan tidak berada di pihakku. Dia tidak mengangkat teleponku. Aku putuskan untuk mengiriminya pesan singkat. Garis centang satu berubah menjadi dua secepat kilat dan statusnya langsung berubah menjadi online. Kutunggu beberapa menit, tapi balasannya tak kunjung kudapatkan. Statusnya masih sama. Aku gemas sekaligus kalut. Aku harus berbicara dengan seseorang. Kusentuh ikon telepon pada kontak Whatsappnya, tapi keberuntungan tetap tidak memihakku. Dia tidak mau mengangkat teleponku. Ada apa? Tidak mungkin dia berniat mengabaikanku. Jelas ada sesuatu yang tidak beres, intuisiku memberikan peringatan keras, dan aku teringat pada kata-katanya saat bertemu denganku tadi. “Bahkan… Bisa jadi ini adalah pertemuan terakhir kita.” Ya Tuhan, jangan sampai pikiran burukku ini benar!

Lihat selengkapnya