“There must be another way, there must be another guy. But, what if not? What if this is the way? What if he is the guy? What if… I don’t want to lose him?” Kalimat-kalimat tersebut berulang kali berdengung di kepalaku seperti mantra ajaib ketika aku membaca draft perjanjian dari Jimmy Halim. Aku berpikir dan berpikir keras, merenungi setiap kata, titik, koma yang ada dalam lembar-lembar perjanjian itu. Apakah aku siap? Siap tidak siap, aku sudah memutuskan untuk pergi ke Jakarta menemui Jimmy Halim.
“Aku akan ke Jakarta. Aku siap.” Suara serakku membuka percakapan kami di telepon. Aneh tapi nyata, aku dapat merasakan Jimmy Halim tersenyum bahagia mendengar kalimat ini akhirnya keluar dari mulutku.
“Ok. Aku akan kirimkan tiketnya siang ini. Sampai jumpa.”
There must be another way, there must be another guy. Aku tak tahu apakah jalan itu ada. Namun, jika jalan itu tak ada, aku akan membuat jalan untuk diriku sendiri.
***
Aku memintanya menemuiku sendirian tanpa Novi di restoran mall tempat kami pertama kali bertemu. Dia langsung menyetujui permintaanku tanpa protes. Menurutku ini agak aneh, tapi mungkin saja dia sudah putus asa dan memutuskan untuk menuruti saja semua kemauanku. Taksi yang kutumpangi melaju dengan kecepatan sedang di jalan tol menuju ke daerah Pusat. Pikiranku yang tadi masih bergumul antara benar atau tidaknya tindakanku bak ombak di laut yang mengamuk kini sudah tenang setenang air di danau. Aku sudah memutuskannya.
“Aku sudah di tempat. Di meja yang sama dengan kemarin.” Jimmy Halim menghubungiku melalui telepon.
Mendengarnya berbicara dengan nada yang kupastikan cukup antusias di telepon tak dapat menahan senyumanku mengembang di wajah. Aku membayangkan wajahnya saat ini, menungguku di sana, sama seperti waktu itu. Dan aku… Aku tidak sabar untuk menemuinya. Aku ingin melihat wajahnya. “Oke. Sebentar lagi aku sampai.”
“See you.”