"Kau menyesal?"
"Tidak?"
"Matamu tidak bisa berbohong." Perempuan cantik berambut sebahu menatap lelaki berpostur tinggi tegap di sampingnya. Matanya yang berhias celak hitam seolah enggan berpaling dari wajah lelaki yang kini fokus pada gelembung kecil yang muncul dari dalam air.
Karena tak mendapat sahutan, perempuan berambut sebahu itu ikut menghadap ke depan. Turut memandangi gelembung air yang semakin lama semakin berkurang hingga akhirnya berhenti. Airnya perlahan menjadi tenang.
"Misi kita selesai. Ayo pulang dan makan bersama."
Lelaki itu bergeming, entah apa yang ada di dalam pikirannya.
"Pulang, lah, lebih dulu," katanya.
Senyum yang semula terulas dari bibir perempuan itu perlahan luntur. Meski telah terbiasa ditolak oleh orang yang sama, rasa sedihnya tak pernah berkurang. Perempuan itu tertunduk lesu.
"Baik lah," ucapnya pada akhirnya. Dia lantas pergi tanpa menoleh lagi. Tak ingin lelaki itu mengetahui sedalam apa rasa kecewanya.
Sementara itu, si lelaki menatap kosong pada sosok yang berada dalam air. Kemudian berganti menatap pedangnya yang berlumuran darah, lalu kembali pada sosok itu. Kejadian ini ... benar-benar membuatnya merasa dejavu. Dadanya terasa nyeri. Saat dia akhirnya memutuskan untuk pergi, sesuatu yang aneh terjadi.
Gelembung dalam air muncul lagi. Sosok perempuan yang awalnya dia pikir telah meninggal kini bangkit kembali. Iris matanya yang sehitam jelaga menampilkan sorot terkejut, apalagi saat sosok itu bertanya dengan suara bergetar.
"Lo ... siapa?"
*****
"Kumohon jangan pergi. Jangan lagi."
"Freyaaa!"
Aya tersentak begitu suara asing itu berteriak memanggil namanya. Gadis itu langsung terduduk dengan napas memburu. Tangannya yang terikat di belakang tubuh membuatnya tak bisa mengusap air yang membasahi wajah dan menghalangi penglihatannya. Begitu mampu melihat sekitar dengan jelas, dia terkejut menyadari dia bukan lagi berada di kolam sekolah. Bertambah terkejut begitu pandangannya tertuju pada iris sehitam jelaga yang menatapnya seolah memiliki dendam menahun padanya.
"Lo ... siapa?"
Sebenarnya ada banyak prasangka buruk dalam kepala Aya. Yang paling kuat adalah Delia, Angel, atau siapa pun telah membuangnya ke sini. Ke sungai di tengah hutan. Lalu lelaki itu ... mungkin adalah seseorang yang diutus untuk membunuhnya. Aya pikir, pedang yang ada di tangan lelaki itu telah menjelaskan segalanya.
Aya menunduk sedih. Sehina itukah dirinya? Hanya karena hidup serba kekurangan, dia diperlakukan sejauh ini. Apakah mereka benar-benar manusia?