Aya bertanya ke sana ke mari, tapi tak kunjung menemukan jawaban. Sebagian dari mereka yang Aya tanyai justru menganggap Aya perempuan gila sebab penampilannya yang acak-acakan: bajunya berlubang, rambutnya berantakan, dan kakinya berdarah karena tak memakai alas kaki.
"Pak, desa ini namanya desa apa, ya?" tanya Aya pada orang yang ke sekian.
"Pak? Sejak kapan saya nikah sama Ibumu?"
"M-maksudnya Paman." Aya menggaruk tengkuk yang tak gatal.
"Sejak kapan saya menikah dengan Bibimu?" Lelaki berperut buncit itu menoleh ke arah Aya sekilas lalu lanjut mengelus surai cokelat milik kudanya.
"Baiklah. Maksud saya, Desa ini namanya desa apa, ya, Tuan?"
Kali ini, lelaki itu menghadap Aya, lalu melihat Aya dari atas ke bawah seolah menilai.
"Desa Lunaris, masih dalam wilayah kerajaan Arcanum yang bertetangga dengan kerajaan Eldoria. Puas?"
Aya menggaruk dagu. Ekspresinya masam. Perasaannya tak enak. Kerajaan? Sejak kapan Indonesia jadi negara kerajaan? Kalau orang itu jawabnya Kerajaan Majapahit, Aya masih bisa mengerti. Aya masih bisa menebak kemungkinan bahwa dirinya mengalami time travel ke masa lalu. Lah ini?
"Kira-kira seberapa jauh dari kota J?" tanyanya, masih berusaha berpikir positif.
"Kota J? Saya belum pernah dengar. Apa kau berasal dari kerajaan tetangga?"
Aya menggeleng.
Lelaki itu membuang napas lewat mulut, terdengar frustrasi.
"Sudah kuduga. Sana tanya yang lain saja. Saya tidak punya waktu meladeni orang gila."
Aya menyingkir dari sana. Dia takut ditendang kuda yang juga seolah enggan melihatnya sebagaimana pemiliknya. Aya berjongkok di tengah keramaian pasar lalu menutup wajah dengan kedua telapak tangannya. Aya menangis, tak peduli dirinya telah menjadi pusat perhatian.
Sebenarnya apa yang telah terjadi? Tidak mungkin, 'kan mereka semua berbohong pada Aya? Bagaimana bisa dia berada di desa ini? Dia ingat betul Angel mendorongnya ke kolam sekolah. Aya pun tak akan lupa ketika dia merasa sekarat dan ....
Tiba-tiba terbangun di sungai. Apakah mungkin dia telah berpindah dimensi dan bukannya dibuang oleh Angel dan Delia?
Di tengah isak tangisnya, seseorang menyodorkan bungkusan kain padanya. Aya bisa melihatnya dari sela jemarinya. Aya menjauhkan tangan dari wajah. Mendongak menatap seseorang yang berdiri tepat di hadapannya.
"Kamu?" tanyanya lalu berdiri berhadapan dengan orang itu.
"Makan," ucapnya dengan nada bicara yang terkesan dingin dan memerintah. Matanya melirik bungkusan kain yang tak kunjung diambil Aya.
Aya menggeleng. Alih-alih meraih bungkusan itu, Aya menarik ujung lengan baju Albiru.
"Tolong bawa aku ke sungai itu. Aku mau pulang." Air mata Aya semakin menjadi. Di pikirannya, sungai itu adalah satu-satunya cara untuk pulang. Sedang Albiru adalah orang yang jelas tahu tempatnya.
"Sungai?"
Aya mengangguk.