Aya telah kembali ke dunianya, tapi harus menelan pil pahit begitu raganya bukan lagi menjadi miliknya. Kini, dia hanya lah sosok tembus pandang yang kehadirannya tidak dilihat dan tidak pula dirasakan oleh orang lain. Dulu, dia tak begitu peduli orang lain mau mengabaikannya atau tidak asalkan Ayahnya masih sayang dan peduli padanya maka dia akan baik-baik saja.
Namun sekarang, Ayahnya pun tak menyadari keberadaannya. Yang lebih menyakitkan lagi, seseorang yang mencuri tubuhnya juga mencuri perhatian dan kasih sayang Ayahnya.
"Keluar dari tubuhku sekarang juga. Dasar pencuri!" Ingin sekali rasanya Aya menjambak rambut panjang gadis di hadapannya, tapi sayang dia tak bisa melakukannya. Selain karena Aya tak bisa menyentuh apa pun, itu karena rambut itu adalah miliknya. Itu adalah tubuh yang tak bisa dia masuki sejak awal dia kembali ke dunia ini.
Kanaya, orang yang kini merasuki tubuh Aya bersedekap. Dia adalah satu-satunya orang yang menyadari eksistensi Aya di dunia ini.
"Sayang sekali, aku tak bisa melakukan itu sekali pun aku ingin."
"Itu alasanmu aja, 'kan? Keluar dan kembali lah ke tempat asalmu. Orang tuamu mungkin mencarimu, sama seperti Ayahku mencariku."
"Ayahmu tak akan mencarimu selama aku ada di sini." Kanaya tersenyum, yang justru membuat Aya meradang. Aya bergerak menendang, meninju, tapi semuanya hanya berakhir sia-sia sebab pukulan dan tendangannya menembus tubuhnya yang dicuri Kanaya. Sangat menyebalkan.
"Aaa!" Aya berteriak frustrasi lalu berjongkok dan menutup wajah dengan telapak tangan. Menangis selalu menjadi salah satu hal yang melegakan saat situasinya menjadi tak terkendali.
"Tidakkah kau berpikir bahwa pertukaran jiwa kita ada tujuannya?" Kanaya duduk di kursi meja belajar. Posisinya membelakangi Aya yang duduk jongkok di depan ranjang.
"Apa? Membuatku dihina karena kelakuanmu? atau membuatku tertikam?" Aya mendongak menatap punggung Kanaya. Dia akhirnya bisa menebak alasan mengapa Albiru bisa sok tahu hingga mengatakan kalau Aya pernah menyerahkan diri pada seorang lelaki di luar ikatan pernikahan atau singkatnya berzina. Itu pasti kelakuan Kanaya dan dia yang harus kena batunya.
Punggung Kanaya menegang. Pensil yang semula digunakan untuk menyilang pilihan pada soal pilihan ganda kini patah dan terbagi dua. Gadis itu berdiri. Berbalik menghadap Aya yang masih jongkok.
"Aku punya alasan."
"Memangnya apa alasan orang berzina?" Aya membalas perkataan Kanaya dengan pedas.
"Pergilah kembali ke dunia itu, dan coba temukan kehidupanku. Kau akan tahu alasanku."
Aya menggeleng keras.
"Tidak akan per--"
"Terlambat, kekasihmu memanggilmu dari sana."
Sebuah lingkaran bercahaya biru muncul di hadapan Aya. Lingkaran itu dengan cepat menyedot tubuh Aya masuk ke dalam sana. Aya menghilang, dan portal itu perlahan-lahan ikut lenyap dari hadapan Kanaya.
***
Lukas menatap Albiru dengan prihatin. Lelaki itu tak pernah beranjak dari tempat tidur Aya bahkan hanya sekadar untuk makan dan berganti pakaian. Albiru selalu duduk di sebelah Aya. Menggenggam jemari gadis itu dan menyalurkan energinya.
"Kau mau kupanggilkan penyihir paling sakti di kerajaan ini?" Lukas menawarkan. Albiru yang beringkah seperti itu, Lukas yang kelelahan.
Albiru menggeleng.
"Aku akan memanggilnya sendiri."
"Memanggil penyihir?"
"Freya."
"Maaf harus mengatakan ini, tapi kau bisa saja mati. Kau bahkan tidak makan dan minum selama dua hari ini. Dan lagi, dia sudah mati. Hanya penyihir yang--"
Albiru menggeleng untuk kedua kalinya.
"Dia tidak benar-benar pergi. Aku merasakan auranya."
"Terserah kau saja lah." Lukas mengembuskan napas lalu keluar dari kamar. Menasehati tembok memang terasa lebih baik ketimbang menasehari Albiru yang keras kepala.
Albiru tak bergeming. Pandangannya tak beralih dari tangannya yang menggenggam tangan mungil Aya. Cahaya biru yang berasal dari sana perlahan memudar, menandakan energi Albiru yang kian melemah detik demi detiknya. Albiru berbaring di sebelah Aya. Rasanya sangat melelahkan, tapi Albiru tak ingin menyerah. Lelaki itu terus mengalirkan energi tak peduli dirinya telah sampai pada batasnya.
Albiru pingsan karena kelelahan.