Fall In You

Ainul Mardhiyyah
Chapter #9

Hari Pernikahan

Aya jadi ustadzah dadakan untuk Albiru dan tiga orang lainnya. Tiga orang itu salah satunya adalah Lukas, sementara dua orang lainnya entah Lukas dapatkan dari mana. Yang Aya tahu, namanya adalah Juju dan Ankara. Aya mengajari mereka dasar-dasar Islam; tentang tauhid, dan tentang alasan manusia diciptakan di dunia ini.


Aya juga menjelaskan bahwa Islam itu agama keselamatan, dimana seluruh aspek kehidupan telah ada petunjuknya dalam sebuah kitab suci yang bernama Al-Qur'an. Juga tentang Al-Qur'an yang selain jadi petunjuk bagi orang beriman, juga menjadi kabar gembira, peringatan, serta obat. 


Albiru mengangguk antusias. Perkataan Aya bahwa Al-Qur'an itu adalah obat telah Albiru buktikan sendiri kebenarannya. Ayat Al-Qur'an yang selama ini dia kira mantra adalah sesuatu yang sangat menenangkan hatinya. Segala kegundahannya hilang begitu mendengar bacaan yang dilantunkan Aya. 


Tiga orang lainnya pun setuju dengan hal itu. Ankara sampai berceletuk,

"Aya, kau sudah dikenal sebagai dukun di desa ini karena menyembuhkan gadis yang sudah sakit sejak kecil."


"Berapa kali aku harus bilang kalau bukan aku yang menyembuhkan. Tapi Allah. Kata 'bismillah' itu obat. Al-Qur'an itu obat. Sampai sini kalian belum paham?" Aya memekik frustrasi. Lalu kemudian mengembuskan napas. Lelah. 


"Iya. Aku paham sampai situ. Hanya saja, mereka yang di luar sana tidak. Mereka pikir kau dukun sakti dan penyihir." Ankara menggaruk tengkuk yang tak gatal. Meski pun mungil, Aya bisa seram juga saat sedang marah. Apalagi Albiru yang turut menatap Ankara seolah dirinya punya hutang sesuatu pada lelaki itu.


"Perempuan memang seperti itu? Yang salah cuma satu, tapi yang kena marah semuanya," bisik Lukas pada Juju. Juju mengangguk mengiyakan.


"Bilang apa kalian?" Albiru bertanya dengan suara rendah. Menatap dua orang itu dengan tatapan permusuhan.


"Paling malas kalau pawangnya sudah ikut campur." Lukas memutar bola mata. Berkata dengan suara agak dikeraskan agar Albiru mendengarnya. Albiru pun jadi geram sampai tak sadar memukul meja.


"Biruu! Ah, kalian ini membuat darah tinggiku kumat." Aya memijit pelipisnya yang berdenyut. Albiru dengan sigap ingin memapah, tapi langsung ditahan oleh pekikan Aya.

"Jangan pegang! Kita belum mahram, ya!"


Gerakan Albiru langsung terhenti. Tangannya mematung di udara. Sementara itu, tiga orang lainnya mengulum bibir menahan tawa.


"Kita lanjut besok saja." Aya bangkit dan hendak meninggalkan ruang tengah yang telah disulap Albiru jadi ruang belajar.


Semua orang mengangguk setuju kecuali Albiru. Jika mereka belajarnya lambat begini, Albiru jadi merasa dirugikan. Semakin lambat mereka belajar lalu masuk Islam, maka semakin lambat juga Albiru dan Aya menikah. Namun, jika Aya sudah seperti itu, Albiru juga tak ingin memaksa. Albiru hanya bisa sabar dan pasrah.


****


Kediaman Albiru jadi ramai tiga bulan terakhir ini. Selain karena Albiru, Lukas, Juju, dan Ankara yang rutin belajar bersama, masyarakat desa juga sering datang pada Aya dan meminta diobati. Sebagian dari mereka yang sembuh dengan izin Allah memilih untuk belajar Islam dan bergabung dengan empat sekawan itu untuk belajar.


Murid Aya sekarang bertambah banyak. Sayangnya, ilmu Aya masih sangat terbatas dan hanya bisa mengajarkan hal-hal mendasar saja. Meski terkadang Aya pusing tujuh keliling karena murid-muridnya yang bebal, Aya tetap merasa senang dan bersyukur. Setiap hari di dunia ini rasanya sangat berharga. Jika dulu Aya sering dirisak, sekarang Aya dihargai dan dijaga oleh mereka, terutama oleh Albiru. Mereka semua terasa seperti keluarga.


Hari ini, saat semua orang telah mantap untuk masuk Islam, Aya membimbing mereka mengucapkan dua kalimat syahadat. 

Kemudian, untuk menguji kembali pemahaman mereka, Aya mengajukan beberapa pertanyaan.


"Siapa Tuhan kalian?"


"Allah." Mereka menjawab serentak. Albiru menjadi seseorang yang paling bersemangat.


Lihat selengkapnya