Aya terbangun dini hari saat pintu rumahnya dan Albiru diketuk. Ingin segera bangun, tapi pinggangnya dipeluk sangat posesif oleh seseorang yang baru sehari ini berubah status menjadi suaminya.
"Abaikan saja," gumam Albiru. Dia tak rela jika Aya harus bangun secepat itu. Albiru masih ingin peluk.
"Tidak bisa begitu, Biru. Bagaimana kalau ada yang sakit?"
"Terserah. Jangan lupa pakai hijabmu." Albiru melepas pelukan. Mengubah posisi menjadi berbaring membelakangi Aya. Sepertinya sedang merajuk. Namun, Aya mengabaikan saja sebab suara ketukan di pintu menjadi lebih keras dan tidak sabaran.
Aya bergegas keluar dan membuka pintu tanpa bertanya siapa yang mengetuk pintu terlebih dahulu. Akibatnya, beberapa orang lelaki berpedang menyeretnya paksa begitu dia menjawab bahwa dia adalah Freya.
"Lepas. Kalian mau bawa saya ke mana? Biruu!"
Albiru sibuk misuh-misuh dalam hati sampai-sampai tidak menyadari kalau Aya dibawa pergi oleh sekelompok orang utusan kerajaan. Albiru tidak menyadari kepekaan indranya kini telah berkurang drastis. Kemampuan berlari cepat, kemampuan menyalurkan energi, bahkan wujud serigalanya tak pernah lagi muncul beberapa bulan ini. Sepertinya, dia benar-benar telah menjadi manusia seutuhnya.
****
Aya tiba di istana kerajaan tepat saat matahari menampakkan diri dari ufuk timur. Seluruh penghuni istana yang melihatnya sempat mengernyit melihat pakaiannya yang terlalu tertutup. Namun, tidak ada yang begitu peduli. Selain itu, Aya adalah tamu penting untuk saat ini.
Prajurit yang membawa Aya dari desa mengawal Aya menuju ruang pertemuan. Membawa Aya berdiri tepat di depan singgasana Raja Kairos yang terlihat amat berwibawa dan berkharisma. Setelah memastikan Aya berdiri di hadapan Raja, prajurit itu membungkuk pada Raja untuk sesaat sebelum akhirnya keluar dari ruangan itu.
Raja Kairos mengernyit begitu melihat wajah Aya. Keningnya berkerut samar, dan tangannya mengepal begitu menyadari bahwa wanita di hadapannya adalah wanita yang sama dengan yang katanya telah mati di tangan pembunuh bayaran suruhannya. Tapi apa ini? Apa para bedebah itu menipunya?
"Apa kau benar-benar dukun bernama Freya?" Raja Kairos bertanya. Memastikan.
"Maaf, Yang Mulia, saya memang Freya, tapi saya bukan dukun."
"Seluruh masyarakat Desa Lunaris berkata bahwa kau adalah dukun sakti." Raja berbicara tanpa menatap Aya. Dia justru sibuk menuang arak di cangkir, lalu menyesapnya perlahan. Berpikir, bagaimana mungkin ada orang semirip ini?
"Apa kau mengenal Theo?" Kaisar coba memancing Aya.
"Theo? Siapa itu, Yang Mulia?"
"Kau benar-benar tak tahu?" Raja tertawa. "Dia anakku. Calon pewaris takhta kerajaan. Temui dia, dan lakukan apa pun agar dia sembuh."
"Pengawal!" Raja memanggil pengawal tanpa menunggu tanggapan Aya.
Seseorang berpakaian hitam dengan pedang di tangan kanan memasuki ruangan. Lelaki itu lalu menunduk sesaat dan memberi salam pada sang Raja.
"Antar dia ke paviliun Putra Mahkota."
"Baik, Yang Mulia."
Aya diantar ke paviliun Putra Mahkota, lalu dibiarkan masuk ke kamar lelaki itu untuk kemudian ditinggalkan berdua. Aya membuka pintu lebar-lebar. Tak ingin terjadi fitnah, meski sepertinya itu tak mungkin mengingat Sang Putra Mahkota terbaring tak berdaya di ranjangnya.
Aya mendekat ke ranjang. Memerhatikan wajah Putera Mahkota dari dekat. Wajah itu tetap terlihat tampan meski tak ada rona sama sekali. Pucat. Aya tak tahu kenapa, tapi rasanya dia ingin menangis. Hatinya terasa sakit tanpa alasan.
Aya menyentuh dahi lelaki itu. Tidak secara langsung, melainkan tangannya dia lapisi dengan kain mukena. Mulutnya membaca bismillah tiga kali lalu dilanjut dengan doa Nabi Ayyub tiga kali juga. Dengan khusyuk mengingat Allah, dan dengan keyakinan bahwa lelaki itu pasti sembuh.
Putra Mahkota tampaknya sadar akan apa yang dilakukan Aya. Matanya terbuka, dan seketika membulat melihat siapa yang datang. Lelaki itu langsung duduk dan bertanya dengan suara lemahnya, "Naya, apakah ini benar-benar kau?"
Lelaki itu ingin menyentuh pipi gadisnya dengan sayang seperti biasa, tapi Aya langsung menghindar. Bukan mahram.
"Ah, sepertinya aku hanya salah lihat. Kau boleh keluar." Putra Mahkota tidur membelakangi Aya.
"Aku bukan Naya, tapi aku tahu di mana dia?" Aya berucap dengan ragu-ragu. Namun, Putra Mahkota nampaknya tertarik. Lelaki itu duduk kembali dan menatap Aya.
"Kau benar-benar bukan Naya? Lalu di mana dia? Mengapa kau begitu mirip dengannya?"
"Aku tahu ini sulit dipercaya, tapi aku dan dia bertukar jiwa. Ini memang raganya, tapi jiwa ini adalah Freya."
"Jadi kau juga akan mengatakan bahwa dia telah meninggal?" Suara Putra Mahkota terdengar serak. Sepertinya tengah menahan tangis.
"Kami sudah melakukan banyak hal agar bisa bersama. Kami bahkan melakukan hal terlarang agar Ayah mau merestui hubungan kami." Pangeran Mahkota--Theo--bercerita tanpa ragu. Entah kenapa merasa begitu percaya pada sosok yang begitu mirip dengan kekasihnya.
Aya sudah menebak hal terlarang apa yang Theo maksud, tapi dia memilih untuk diam saja. Aya berpikir, mungkin ini maksud Kanaya waktu itu. Kanaya terpaksa melakukannya. Namun, apakah mereka secinta itu sampai harus melakukan dosa? Kalau Aya, sih, No!
"Dia hamil saat Ayah menyuruh orang untuk membunuhnya."
Jantung Aya berdetak kencang begitu mendengar ucapan Theo. Jadi, Kanaya mati karena dibunuh? Dia hamil? Aya merasa shock, tapi mencoba untuk menguatkan hati Theo.
"Theo, suatu saat dia mungkin kembali ke tubuh ini saat aku pergi ke duniaku. Kau hanya harus bersabar dan ... menjaga tubuh ini agar tak dibunuh dua kali. Jadi ... Bisakah kau berjuang untuk sembuh?"