FALLACY: The Poppy's Case

fingerluv
Chapter #4

Chapter 3

Surya Agung


Nama itu muncul di ingatan Tirta. Walau terasa samar, dia cukup yakin ingatannya tidak keliru. Wajah dalam foto yang mereka temukan benar-benar mengingatkannya pada sosok senior yang pernah dia kenal. Meski keyakinannya sempat goyah sebab data diri Surya tidak bisa mereka temukan di database instansi, Tirta tetap kekeh dengan asumsinya.


Namun, bukannya terus mencari melalui server, Tirta justru mengajak Deon dan Marva pergi ke kantor. Selama perjalanan, keduanya tampak tenang. Akan tetapi begitu Tirta menghentikan langkah di depan sebuah ruangan, kening Marva dan Deon kompak mengernyit bingung.


"Kenapa kita malah nyari ke ruang barbuk, Mas?"


"Masuk dulu," titah Tirta sembari membuka pintu.


Deon juga Marva sejenak terperangah melihat betapa luas dan penuhnya ruangan itu. Rak-rak besi yang menjulang tinggi hampir penuh, tidak ada banyak tempat kosong di sana. Selama bergabung, mereka tidak pernah punya kesempatan untuk masuk dan memang tidak ada kepentingan pula.


"Ayo, kita nggak nyari di sini." Ucapan Tirta membawa kembali fokus Deon dan Marva.


Keduanya lekas mengikuti Tirta yang bergerak lurus menuju sisi paling dalam. Ada satu pintu di sana, tanpa kata Tirta menekan beberapa digit angka untuk membuka pintu tersebut.


"Ruangan apa ini Mas?" Ruangan yang mereka masuki kali ini tidak besar, bahkan malah terkesan seperti gudang. Namun, kenapa begitu terjaga hingga harus menggunakan smartdoor segala?


"Ini tempat barang bukti dan berkas kasus-kasus terbengkalai. Emang jarang dimasuki, nggak ada yang bertugas ngerapihin atau ngebersihin juga, jadi jangan heran kalo bentukannya kayak gini."


"Tapi, kenapa kita malah nyari di tempat ini Pak?" Deon masih belum paham kenapa Tirta membawa mereka ke sini, padahal bisa jadi akan lebih membantu kalau mereka pergi ke ruang administrasi atau sejenisnya.


Tirta menatap wajah juniornya, menghela napas sejenak sebelum menjelaskan, "Sebelas tahun lalu, Surya Agung pernah terlibat kasus. Saya belum bisa mastiin, tapi kemungkinan alesan data tentang dia hilang ya karena kasus ini."


"Sebesar apa kasusnya sampai dia dihilangkan begitu?" Tidak mungkin perkara sepele kalau efeknya sampai sebesar itu. Dan sebenarnya, menurut Marva ada yang aneh.


"Membelot." Tirta memimpin langkah menuju pojok tempat rak berkas berjajar.


"Dia diduga berkomplot dengan organisasi yang lagi jadi target besar Kepala BNN masa itu. Surya Agung jadi satu satunya intel yang diterjunkan ke lokasi atau bahasa mudahnya jadi mata-mata, tapi entah karena apa dia malah beralih melindungi bandar dan lalai dengan tugasnya. Organisasi itu bahkan belum berhasil terungkap sampai sekarang, selain karena tiba-tiba nggak terdeteksi, juga karena banyak informasi yang cuma diketahui Surya Agung.


Sayangnya, menurut kabar terakhir, dia meninggal enggak lama setelah dugaan pengkhianatannya muncul."


Deon menyejajari Tirta, ikut menggerakkan telunjuk untuk memudahkan mencari berkas dengan label "tahun 2019". Marva sendiri masih diam memperhatikan dua seniornya.


"Lo bilang diduga, berarti belum bener-bener terbukti dong Mas?"


Tirta membalik badan guna menghadap Marva, dia mengangguk dua kali. "Dugaan itu kemudian nggak ditindak lanjuti dan ya, belum terbukti sampai sekarang. Sejujurnya saya juga heran kenapa kasus ini berakhir terbengkalai begini, tapi saya juga nggak punya kapasitas untuk protes saat itu."


"Ketemu!" Seruan Deon mengalihkan perhatian mereka, keduanya lantas mendekat pada lelaki berkacamata yang ternyata sudah berpindah ke rak di sisi lain.


Deon begitu bersemangat membuka map di tangannya. Tiga pasang mata sama-sama fokus membaca setiap lembar dengan seksama. Suasana lengang seketika, hanya suara kertas dibalik dan pendingin ruangan yang terdengar jelas. Hingga, dering ponsel Tirta mengusiknya.


"Baik Pak, saya segera ke sana." Tirta menyudahi panggilan singkat yang dia terima. "Saya tinggal ke kantor Pak Salim sebentar ya," ujarnya berpamitan pada Deon dan Marva.


Dengan langkah lebar, Tirta meninggalkan ruang barang bukti. Berbelok ke kanan lalu memasuki lift untuk naik ke lantai lima, tempat ruangan Pak Salim— pemilik jabatan tertinggi di instansi ini berada.


"Masuk!" Seruan dari dalam terdengar setelah Tirta mengetuk pintu tiga kali. Mengembuskan napas pelan sembari sedikit merapikan penampilannya, baru kemudian membuka pintu.


Tirta masuk, mendekat pada sang atasan yang masih  duduk di kursi kebesarannya. Dia berdiri tegak, berjarak dua langkah dari meja kayu yang terlihat begitu mengilap itu. "Selamat siang Pak. Ada perlu apa memanggil saya?"


Pak Salim menumpu kedua tangannya di atas meja, menatap Tirta dengan sorot mata tajamnya yang berhasil membuat Tirta gugup seketika. "Perlu apa? Kau tidak merasa melakukan kesalahan?"


Dahi Tirta tertekuk. "Maaf, saya tidak merasa melakukan apapun, Pak. Sejauh ini saya sudah bertugas sesuai prosedur."


"Membuka ruang barang bukti tanpa memberi laporan dan membawa masuk petugas tanpa izin, itu sudah sesuai prosedur menurutmu?"


Tirta sedikit terkesiap. Dia lupa, tidak semua petugas mempunyai izin untuk memasuki ruangan itu. "Maaf Pa—"


"Apa yang kau cari?" Pak Salim memotong ucapan Tirta begitu saja.

Lihat selengkapnya