Fallen for You

Republika Penerbit
Chapter #2

Belajar ala Rindu

LANGIT menghela napas, menyender di dinding cokelat dekat pintu keluar kelas, berusaha untuk mengabaikan teriakan guru yang setinggi sikunya. Apa yang harus Langit lakukan? Lelaki bermata hitam itu melirik pintu di dekatnya. Sungguh sangat tergoda untuk kabur dan mengakhiri semua ini. Ia benar-benar tidak peduli dengan apa yang diucapkan oleh Ibu Nur. Dan jika beliau sepintar gelar sarjana dan doktoralnya, mestinya beliau tahu itu.

Guru biologi itu sudah memarahi Langit selama satu jam.

Langit berharap bahwa akhirnya Ibu Nur serak dan menyerah seperti ibunya. Tetapi suara guru tersebut masih kuat. Sepertinya Ibu Nur lebih banyak praktik marah-marah dibanding ibunya.

Langit tersenyum dan tertawa pelan akan pemikiran bandel itu, dan sekejap langsung menyesalinya.

“LANGIT NUSANTARA!” Ow, wow, Ibu Nur benar-benar menjerit di bagian itu. Ia tidak akan kaget jika telinganya bisa berdarah karena teriakan itu.

Dasar guru kelelawar! pikir Langit dalam hati saat mengusap-usap telinga untuk memastikan bahwa tidak ada darah menetes di sana. Lalu kemudian kembali berpaling ke gurunya, “Ayolah, Ibu Nur. Realistislah, saya memang tidak memperhatikan, jadi a pa yang Ibu mau?” Dalam komik yang Langit baca saat ia masih kecil, seseorang akan digambarkan membengkak ketika mereka benar-benar marah. Akan tetapi, Langit tidak pernah mempercayai itu... sampai sekarang.

“Langit Nusantara! Kamu sudah gagal dalam tiga tes. Dan untuk tes terakhir, kamu bahkan tidak mencoba untuk menjawab pertanyaan dan malah menggambar ini!” omel Ibu Nur sambil menunjukkan kertas tes jawaban terakhir Langit yang sudah lecek. Ada gambar kota yang gedungnya diinjak Godzilla.

“Dengan segala rasa hormat, Ibu harus mengakui bahwa gambar itu jauh lebih baik dari apa pun jawaban asal yang mungkin saya isi di tes itu.” Langit mencoba bercanda, mencairkan suasa­na. Namun, muka Ibu Nur makin merah.

Langit tidak habis pikir dan agak terkejut, Ibu Nur bisa semurka ini. Langit sering sekali cabut ke kafetaria di jam-jam kelas, sehingga ia sebagai guru harusnya merasa tersanjung Langit kali ini bertahan di kelas sampai melampaui waktu pelajaran.

“Saya tidak akan membiarkan ini! Akan ada tes remedial dan saya menyarankan kamu meminta salah satu teman sekelas un­tuk mengajari, jika kamu mau lulus tes!” Langit kembali mengangkat bahu. Ini semua akan berjalan dengan lancar. Ia akan mendapatkan jawaban tes itu dari beberapa anak culun dan lulus tes.

Dengan cepat Langit mengiyakan.

***

“Langit!” sapa Rindu tiba-tiba.

“Ngapain ke sini?” balas Langit kasar melihat Rindu menghampiri.

Ia masih sangat kesal akan kejadian seminggu lalu. Niat baik untuk menjadi teman Rindu seperti ditolak begitu saja. Walau mereka sudah bisa berbicara, namun mereka tetap memilih untuk saling menghindar satu sama lain.

“Aku hanya ingin menyampaikan pesan kepala sekolah, Pak Joseph. Ia ingin bertemu denganmu.”

“Haha, itu bukannya hampir tiap hari, ya? Santai lah! Nilai gue masih cukup, kok,” jawab Langit.

“Iya. Tapi, apa kamu tidak takut kalau nilai stabilmu tidak cukup untuk mem pertahankan keberadaanmu di SMA Karya?” tanya Rindu.

“Gue enggak bakal kehilangan apa-apa juga seandainya gue dikeluarin,” kata Langit sambil mengangkat bahu.

Pernyataan itu mengejutkan Rindu. Lelaki di depannya memiliki segalanya, namun mengapa ia bisa mengeluarkan rangkaian kata yang begitu menyedihkan? “Reputasi dan prestasimu? Kamu adalah kapten tim basket dan murid cowok terpopuler di sekolah ini, padahal kamu baru kelas sepuluh. Kalau kamu dikeluarkan, kamu harus membangun semuanya dari awal lagi, dan itu tentu akan berdampak dengan rencana perkuliahanmu. Kalau karirmu di basket berkembang, kamu masih berkesempatan untuk menjadi penerima beasiswa--” suara Rindu seolah tulus, benar-benar khawatir akan Langit.

“Reputasi itu enggak penting. Lagian lo santai aja, palingan gue cuma disuruh pulang belakangan untuk bersih-bersih sekolah, dan ujung-ujungnya gue bakal cabut juga. Gue bakal tetap ada kok di sini buat lo lihatin terus,” jelas Langit sebelum angkat kaki.

Muka Rindu memerah. Memang, sih, setelah kejadian di toilet itu, Rindu jadi lebih sering menggunakan waktunya untuk memperhatikan Langit dibanding teman sekolah lainnya. Sejak SD bersama, persona Langit selalu dikaitkan dengan ketidakpedulian dan sumbu pendeknya. Entah kenapa setelah pengakuan Langit tentang bagaimana ia simpati dengan kondisi Rindu yang tidak mempunyai teman, membuat Rindu berpikir dua kali akan sosoknya.

***

“Yes, Pak Joe, ada apa?” ucap Langit dengan santai. “Kenapa saya dipanggil kali ini? Bolos? Tidur di kelas? Ngerjain orang?”

“Sebenarnya, ini tentang nilaimu,” jawab kepala sekolah yang sudah tahu tabiat muridnya, tanpa basa-basi.

Langit menarik kursi dan duduk.

“Saya tahu bahwa sebelumnya, ketidakhadiranmu di kelas dan keusilanmu terhadap murid-murid dengan memasukkan ‘kejutan’ di loker mereka—yang entah bagaimana kamu bisa mendapat copy kunci loker semua murid—tidak pernah berefek karena nilaimu terbukti selalu B- di setiap mata pelajaran. Akan tetapi, saya baru mengecek nilai biologimu di semester dua ini, dan totalnya D­.”

“Terus? Saya ingin menjadi atlet, bukan ahli biologi. Kenapa harus mempelajari itu?”

“Karena di SMA Karya, C adalah nilai minimal untuk murid agar mereka bisa naik kelas dan terlibat dalam ekstrakurikuler apa pun. Dan ya, itu termasuk basket. Dan jika nilaimu kurang dari C, dengan terpaksa kamu tidak diperbolehkan mengikuti kegiatan ekstra apa pun.”

“APA?! Tapi, minggu depan ada pertandingan basket penting!” Langit emosi, refleks memukul meja dan mengagetkan kepala sekolah.

“Tenang dulu. Begitulah peraturannya. Bapak sudah bernegosiasi dengan Ibu Nur, dan katanya, ia hanya bersedia memberikanmu satu kesempatan lagi dengan cara mengikuti remedial tes Jum’at ini. Artinya, kamu masih punya waktu empat hari untuk belajar dan mempersiapkan diri,” jelas Pak Joseph.

Langit tidak memberikan tanggapan yang sinis lagi. Ia berjalan keluar ruangan, membanting pintu dengan seluruh energinya.

Sekolah sudah sepi. Ia berlari ke satu-satunya tempat yang membuatnya nyaman, lapangan basket. Duduk di tengah-tengah bangku penonton. Meremas kepala yang tidak sakit. Kesal!

“Langit, kamu enggak apa-apa?” tanya suara yang tak asing.

Langit menengok ke arah suara yang ternyata sudah begitu dekat, “Oh, Tam! Enggak, gue enggak apa-apa, kok.”

“Terkadang aku ke sini kalau sedang banyak pikiran. Seperti saat ini, memikirkan bagaimana nasib ulangan geometri nanti karena aku sangat berharap nilaiku sembilan, tapi tadi aku agak pesimis. Remedial, sih, tidak mungkin tapi sepertinya—” oceh Rindu.

“Ok, fine! Berisik, nih! Gue ada sedikit masalah.”

“Masalah apa?”

“Panjang. Lupain aja!” kata Langit masih kesal. Kenapa, sih, Rindu ingin sekali tahu masalahnya?

“Aku ada waktu, kok,” jawab Rindu dengan tenang. Ia kemudian mengambil tempat duduk di sampingnya.

***

Langit tidak tahu bagaimana cara Rindu Utami melakukannya, tapi gadis itu berhasil membuat Langit menceritakan semuanya.

Sebagai orang yang suka sekali berbicara, Rindu merupakan pendengar yang baik. Di akhir cerita, anehnya Rindu hanya tertawa kecil.

“Tuh, kan, malah ketawa!” marah Langit .

“Bukan itu, hanya saja, Azka memiliki masalah yang sama dulu. Tapi sekarang, dia sudah menemukan metode belajar yang baik. Yaaa walaupun masih suka remedial, tapi dia bisa lebih cepat mengejar pelajarannya sekarang. Menurutku, kamu coba konsultasi aja dengannya. Lagipula… dibanding semua orang, kupikir dia yang paling mengerti kamu sekarang,” saran Rindu.

Kini Langit yang tertawa, dan itu membuat Rindu keheranan.

Lihat selengkapnya