Fallen for You

Republika Penerbit
Chapter #3

Latihan Menjadi Orangtua

BERKAT bantuan Rindu, Langit dapat terus berkompetisi, dan tentunya menang. Basket memang merupakan sebuah hal penting di sekolahnya dan sekarang semua orang memperlakukannya sebagai pahlawan perang.

“Yo, Lang! Mantap banget lo kemarin!” panggil Andre sambil mendekati Langit bersama Leo.

“Iya, Lang, gue yakin di pertandingan berikutnya kita pasti menang lagi!” sambung Leo.

“Thanks, Cuy.” Langit bangga.

“Pertandingan yang hebat kemarin, Lang.” Hani mengedipkan salah satu matanya ke arah Langit.

Langit hanya menganggukkan kepala sambil menyeringai, membuat Hani membuat tanda 'telepon aku' dengan tangannya, yang direspons dengan tawa kecil. Langit ingat bagaimana ia dulu berpacaran dengan Hani.

Singkat cerita, hidupnya hancur. Ia diperlakukan seperti sopir pribadi yang harus mengantar Hani ke mana-mana. Langit tidak diperbolehkan bermain terlalu sering bersama teman-temannya karena Hani takut ia akan selingkuh. Di sekolah, Hani akan mengikutinya ke mana pun ia pergi.

Lebih buruk lagi, Hani enggak mau pergi ke tempat-tempat seperti toko komik, Timezone, dan makan burger atau pizza. Ia hanya mau pergi ke restoran-restoran mahal dengan porsi kecil.

Dan bahkan, ternyata ada aturan bodoh yang tak tertulis kalau cowoklah harus yang membayar makanannya.

Sekalinya mereka melakukan hal yang normal, seperti menonton film di bioskop, itu merupakan film drama romantis yang tidak disukai Langit. Pengalaman itu begitu mengubah cara hidup Langit yang awalnya suka berpacaran, berubah trauma. Sampai saat ini pun, ia masih merinding tiap mengingat kenangan buruk itu.

“Berpikir untuk balikan dengannya, Lang?” tanya Andre.

“Balikan? Hahahaha, ENGGAK,” ucap Langit otomatis.

“Kenapa?” Sekarang Leo menjadi penasaran.

“Serius, deh, Guys, ikuti saran gue. STAY SINGLE!” Tanpa mereka sadari, ada sepasang mata yang dari tadi memperhatikan.

***

Tarik napas Rindu, tarik napas! Ini hanyalah hal biasa.

Lalu, ia pun mengambil langkah ke arah para lelaki yang sedang berulah seperti babon itu.

“Maaf mengganggu, tapi aku mau meminjam Langit sebentar untuk berbicara dengannya,” ucap Rindu santun.

“Oh, hei, Rindu!” tegur Andre.

“Hai Andre, Leo,” balasnya sambil tersenyum. Andre dan Leo juga tersenyum kembali kepadanya. Mereka memang anak basket yang paling ramah, jadi masih mengambil waktu untuk mengingat dan menyapanya dengan benar. Tidak seperti sosok satu ini yang hanya memanggilnya menggunakan nama belakang.

“Kenapa, Tam?”

“Aku sudah mencoba untuk berbicara kemarin seusai sekolah. Aku sempat ingin menghampirimu di lapangan basket. Tapi, mengingat fakta bahwa kamu sedang sibuk mempersiapkan diri secara mental dan juga fisik untuk lomba kemarin jadi—” Langit memutar bola matanya, sementara Rindu terus- terusan mengutarakan kata-kata tanpa arah seperti yang sering dilakukannya ketika gugup.

“Tam! Ini baru jam kedua. Gue bakal lebih senang kalau lo langsung ngomong apa pun itu… dan dengan kata-kata yang lebih sedikit.”

Rindu langsung menghela napas, tanda putus asa. Namun, dari pipinya yang memerah bisa terlihat bahwa ia juga merasa sedikit malu “Maaf,” katanya pelan. “Aku tadinya mau ngomong sebelum pertandingan kemarin,” lanjutnya.

Rindu berhenti sebentar menunggu tanda apa pun dari gestur Langit bahwa ia sedang mendengarkan Rindu. Langit hanya memutar matanya lagi, menunjukkan Rindu harus langsung berbicara ke intinya.

“Jadi, kita ada kelas bersama. Walaupun kamu sering tidak masuk, aku memilihmu untuk menjadi partner-ku di proyek kali ini.” Langit terbengong sejenak. Ia bahkan lupa telah memilih kelas tersebut.

“Aww, Tam, gemes banget sih…” ucap Langit sarkastik. “Gue enggak tahu lo peduli. Tapi gue tahu, satu orang yang lo pasti suka banget untuk jadi partner lo. Inget kejadian pas lab kimia kebakaran?”

“Langit, aku enggak mau ber­partner dengan Azka! Semanis-manisnya dia, dia membutuhkan tutorial Youtube hanya untuk memasak mie instan. Jika aku ingin masuk Oxford, tentu Oxford jelas-jelas akan melihat secara detail semua prestasiku, jadi kuharap kamu mengerti itu! Aku tidak sanggup mengerjakan eksperimen yang sukses dengannya untuk sehari, apa lagi seminggu!“ jelas Rindu dengan penuh emosi, sambil menghentakkan kakinya ke lantai.

“Seminggu? Kata siapa gue mau terjebak sama lo selama seminggu?” tanyanya cuek.

Langit melihat sepercik kesedihan di mata Rindu, dan dia langsung menampar dirinya sendiri di pikirannya karena itu. Semenjak Langit belajar bersama gadis itu, mereka memang belum berinteraksi lagi. Rindu sebenarnya tidak seburuk itu. Ia tidak banyak mengatur dan tidak merepotkan. Ya, ia memang suka mengoceh panjang, tapi yaaa di luar itu, ia tidak mengganggu.

Selain pendekatan mereka waktu itu, mereka bukan teman.

Terlepas dari fakta bahwa Langit pernah diajar oleh Rindu, Langit masih sedikit kesal dengan insiden penolakan tawarannya sebagai teman. Egonya memang tinggi. Itu sebabnya Langit keceplosan berkomentar kasar.

Ia menggaruk kepala.

“Umm, sor—” Sebelum Langit menyelesaikan permintaan maafnya, Rindu yang makin kesal, meletakkan tangan di pinggul dan memandang Langit dengan sinis.

“Aku menduga kamu tidak mau berpasangan dengan Hani,” ucapnya. “Aku kira aku menolongmu, tapi ketika aku tahu bahwa kamu kurang tertarik untuk berpasangan denganku, hmm, aku yakin Bu Lia bisa memasangkan kita dengan orang lain.”

Mata Langit langsung membesar. Dirinya + Hani = NILAI JELEK + DOMPET KOSONG.

“JANGAN!” ujarnya terlalu kencang.

Andre dan Leo yang tadinya asyik dengan perbincangan mereka sendiri jadi menoleh ke arah mereka.

“Lo tahu, kan, gue enggak bermaksud soal yang tadi,” bisik Langit.

Rindu hanya mengangguk walau sebenarnya ia tidak tahu seberapa tulusnya perkataan Langit. Ia benar-benar lelaki yang labil. Andre dan Leo yang melihat kedekatan mereka mencoba berlagak kalau mereka tidak mendengarkan pembicaraan tersebut sambil menahan satu “cie” keluar dari mulut.

“Jadi, proyek apa yang lo seret gue untuk lakuin, Tam?” Langit mencairkan suasana.

“Latihan parenting yang sederhana, Langit,” jawab Rindu.

Rindu langsung membuka tasnya, menyodorkan Langit sebuah kentang dengan sepasang mata dan mulut yang digambar dengan spidol hitam.

“Apa itu?”

“Anak kita untuk seminggu,” terangnya, seakan-­akan itu adalah hal yang paling masuk akal di dunia.

“Oh, oke…” respon Langit sambil mencoba memproses jawaban tersebut. “Tunggu, APA?” lanjutnya, masih mencoba untuk membuang semua rasa bingung di kepalanya.

“Bu Lia menugaskan kita untuk menjadi orangtua selama seminggu agar kita bisa siap menjadi orangtua nanti. Akan tetapi beliau ragu untuk memberi kita binatang peliharaan, terlebih karena mungkin ada orang yang alergi bulu, contohnya aku. Tahun lalu kelasnya menggunakan telur, tapi sulit untuk dimandikan karena gampang pecah. Maka dari itu, kita menjadi orangtua dari kentang yang membanggakan ini.” Rindu bercerita dengan mata berbinar-binar, sambil meletakkan kentang itu ke tangan Langit.

Langit tadinya ingin mengutarakan pendapatnya mengenai bagaimana konyolnya tugas ini, tapi ia menghentikan dirinya sendiri. Ia tidak ingin menyinggung perasaan Rindu lagi.

Andre dan Leo tidak bisa menahan tawa. Rindu pun mengirimkan tatapan sinis ke mereka. Setelah itu, mereka langsung diam. Namun, itu tidak membuat mereka berhenti bergabung dengan obrolan Rindu dan Langit sekarang.

“Bayi yang lucu,” komentar Andre sambil merangkul pundak Langit.

“Yap, matanya mirip kamu.” Leo tertawa.

Langit hanya tersenyum kecil, lalu memukul Leo di bahu, se­mentara Rindu tertawa dengan lembut.

“Siapa namanya?” tanya Andre.

“Hmm, sejujurnya aku belum menentukan. Menurutmu apa, Langit?” ujar Rindu.

Langit mengerutkan dahinya dan menyipitkan matanya seperti berpikir. Tak lama kemudian, ia menyebutkan satu nama dengan nada yang serius.

“Dobby.”

Rindu, Andre, dan Leo melihat Langit seakan-akan ia sudah menumbuhkan tiga kepala.

“Ada masalah? Gue suka Harry Potter, oke!”

Lihat selengkapnya