Velma Lillian tidak pernah setuju kalau ada yang mengatakan bahwa Tuhan memiliki selera humor yang aneh.
Menurut opininya, Tuhan hanya memiliki cara yang luar biasa untuk menunjukkan cinta-Nya kepada manusia. Cara-cara yang melangkahi logika dan kepatutan versi makhluk fana.
Cara-cara yang berada di garis luar apa yang bernama ‘akal sehat’.
Itulah yang dipikirkan Velma ketika pertama kali melihat Josh Kadmiel di acara pemakaman Evan. Pemikiran itu begitu saja meluncur ke dalam benaknya tanpa terkendali, berputar-putar di kepalanya mirip badai yang mengamuk. Hal itu bahkan terjadi sebelum mereka saling bertatapan. Velma hanya mengerti bahwa dia tahu. Itu saja.
“Velma, ini Josh,” Aara memperkenalkan mereka. Refleks, tangan Velma terulur untuk berjabatan dengan lelaki itu.
Josh mungkin mempunyai telapak tangan paling besar yang pernah digenggam Velma. Dia bahkan juga harus agak mendongak untuk bisa melihat wajah Josh dengan jelas. Hal ini tidak sering dilakukan Velma. Tingginya sendiri 173 sentimeter, bukan angka yang buruk. Namun lelaki di depannya ini, paling tidak lebih tinggi sepuluh sentimeter dibanding dirinya.
Josh memiliki tubuh atletis yang—di mata Velma—menyiratkan maskulinitas. Andai dia juga berhormon testosteron, Velma yakin penampilan Josh cukup mengintimidasinya. Satu lagi, meski sudah beberapa hari pria itu tidak bercukur, tidak mengganggu penampilannya. Entah mengapa, ada sesuatu yang unik tentang Josh. Semacam magnet yang punya kekuatan besar untuk menarik perhatian dan fokus orang-orang di sekitarnya. Terutama makhluk berspesies perempuan.
Josh adalah nama yang sudah sangat akrab di telinganya.
Evan menyebut nama itu dalam banyak kesempatan sejak mereka bersama, sekitar delapan bulan silam. Velma pun pernah melihat foto-foto saat keduanya masih menjadi mahasiswa di Jerman. Namun dia tidak pernah menyangka bahwa Josh jauh lebih menarik saat ditatap langsung.
“Hai, Josh,” sapa Velma pelan, seraya mengangguk sopan.
“Velma, senang mengenalmu,” kata Josh dengan suara yang—astaga—berat dan rendah. Velma memaksakan diri agar bisa merekahkan senyuman.
“Evan sering menyebutkan namamu,” imbuh Velma pelan.
Tanpa sadar, Velma menatap jasad Evan yang terbujur kaku di tengah ruangan. Dia sudah nyaris tidak merasakan sakit karena kehilangan kekasihnya secara tiba-tiba. Selama hampir dua minggu Evan berada di ICU, air mata Velma mengering. Sebenarnya, bahkan sebelum kecelakaan itu dia tak punya lagi air mata untuk apa pun hal buruk yang mungkin terjadi pada Evan.
“Evan juga sering menyebutkan namamu,” Josh membeo.
Velma mengangguk. “Berarti kita adalah orang-orang yang sangat penting baginya.” Kalimat yang diplomatis.
Josh mengamini. Lelaki itu memberi isyarat agar Velma kembali duduk. Velma memang merasa pengar dan agak mual.
Aara menatap Velma dengan kesedihan mendalam yang menguar jelas. Dia mengelus lengan perempuan yang seharusnya akan menjadi saudara iparnya itu dengan penuh kasih sayang. Velma terenyuh. Perasaannya mendadak menggelap seketika. Sisa keriaan dan harapan yang mungkin masih bersemayam di jiwanya, mendadak ikut terisap.
Tidak ingin kesedihan menelannya, Velma berusaha menghibur Aara. “Aku tidak apa-apa, Ra. Aku akan baik-baik saja,” desahnya seraya menepuk tangan Aara.
“Aku tahu, kamu akan baik-baik saja,” balas Aara. Sayang, suaranya tidak berisi keyakinan sama sekali.
Velma menyayangi Aara, perempuan yang telah dianggapnya sebagai saudara yang tidak pernah dimilikinya. Dulu, Velma menggantungkan harapan yang tinggi seputar masa depannya bersama Evan dan keluarga besar lelaki itu. Sayang, dalam perjalanannya, harapan itu terpaksa meledak tanpa sisa.
Padahal, baru beberapa bulan berlalu saat Velma dikenalkan dengan Aara dan anggota keluarga Evan lainnya. Namun seakan sudah berlalu puluhan tahun.
Doa-doa dan ayat suci dilantunkan dari berbagai penjuru.
Velma membenahi letak kerudungnya yang terjatuh di bahu. Dia sempat melirik Josh yang mengambil tempat duduk di depannya. Pria itu tampil dengan pakaian yang sama sekali tidak sesuai dengan acara pemakaman. Kaus polos berwarna putih dan celana jeans biru muda. Rambutnya yang panjang hingga ke bahu diikat. Tidak terlalu rapi. Telinga kirinya dihiasi anting mungil yang sesekali berpendar saat terkena cahaya matahari. Velma menebak-nebak, apakah anting itu terbuat dari berlian? Velma mensyukuri kehadiran Josh saat itu. Bukan untuk alasan hebat, melainkan karena keberadaan Josh membuat pikirannya tidak melulu dijejali tentang Evan dan musibah yang membentang di depannya. Velma teralihkan oleh pikiran-pikiran remeh, seperti tebakan mengenai anting yang dikenakan Josh.
Ketika Aara meninggalkan mereka, Josh mengajukan pertanyaan yang tak terduga. “Apa kamu sangat mencintainya?”
Velma mengerjap tapi tak berniat mengingatkan Josh bahwa pertanyaannya kurang pantas. “Ya,” jawabnya pendek.
Dulu.
“Kalian akan segera menikah, ya?”
“Ya,” balasnya singkat lagi.
Josh mendesah pelan. Perempuan itu mengalihkan pandangannya, menjauh dari jenazah Evan. Velma sangat ingin hari ini segera berganti. Dia sebenarnya nyaris tidak sanggup bertahan di tempat itu. Velma cuma ingin kembali ke rumah kontrakannya, menghabiskan sisa hari dengan tidur, menangis, atau entah apa. Yang jelas, bukan di sini.
“Sudah berapa lama kalian pacaran? Maaf, kamu boleh menolak menjawab kalau merasa tidak nyaman.”
“Delapan bulan,” balas Velma.
“Oh. Delapan bulan?” Josh terlihat kaget. Entah untuk alasan apa.
“Ya.”
Ada nada minta maaf ketika Josh berkata, “Aku seharusnya pulang empat hari yang lalu. Aku ingin meneriakinya supaya bangun dari koma. Tapi, ternyata ada beberapa urusan yang tidak bisa selesai dalam waktu singkat. Hingga aku baru tiba tadi malam, dan... Evan sudah pergi.” Kepedihan di dalam suara Josh terdengar jelas dan tulus.
Velma sampai menelan ludah dengan rasa nyeri yang asing. Tiba-tiba perempuan itu dibanjiri oleh rasa bersalah nan kental.