Velma kembali diterjang badai mual. Itu perpaduan yang merepotkan antara masalah hormon dan rasa muak yang menyerbunya. Perempuan itu akhirnya terpaksa berbaring di atas kasur milik Evan. Ranjang luas itu menyimpan kisah luka yang tak akan pernah bisa tersembuhkan, meski ditebus oleh waktu seumur hidup yang dimiliki Velma.
Hari sudah hampir gelap. Tak lama lagi acara takziah akan dimulai di rumah ini. Itu cuma berarti satu hal, sandiwara babak baru. Velma harus memaksimalkan kemampuan aktingnya demi memerankan seorang kekasih yang berduka.
Tidak boleh ada manusia lain yang tahu, hanya air mata palsu yang dikeluarkannya berhari-hari ini.
Sampai saat ini, Velma boleh dibilang berhasil memainkan perannya. Aara bahkan mengira dirinya sangat kehilangan Evan. Kata-kata menguatkan tak henti meluncur dari bibir perempuan itu, padahal Aara sendiri sedang sangat terpukul.
Kedua kakak Evan pun tadi menyempatkan bicara dengan Velma demi membesarkan hatinya.
“Kalau kamu membutuhkan sesuatu, bahkan sekadar teman untuk mengobrol, jangan sungkan untuk menghubungi kami,” kata kakak sulung Evan. Sebagai respons, Velma hanya mengangguk sembari mengucapkan terima kasih dengan suara pelan.
Ketika dia mendapat kabar bahwa Evan mengalami kecelakaan dan dalam kondisi koma, Velma hampir meyakini bahwa mata lelaki itu tidak akan pernah terbuka lagi. Entahlah, dia sendiri tidak tahu alasannya. Mungkinkah itu yang disebut indra keenam? Velma masih sangat ingat, sehari sebelum kecelakaan itu, mereka bertengkar hebat. Sebenarnya kurang tepat jika disebut bertengkar, karena yang murka adalah Velma. Sementara Evan jauh lebih santai.
Betapa tidak? Velma tidak terbiasa mempermainkan perasaan seseorang. Perempuan itu juga tidak pernah memanipulasi hati siapa pun. Velma senantiasa berusaha menjalani hidup lurus dan sangat menghargai kasih sayang yang diberikan oleh orang-orang di sekitarnya.
Tumbuh sebagai anak yang hidup dan besar di panti asuhan serta tidak pernah melihat wajah kedua orangtuanya, Velma sangat tahu betapa berartinya perhatian dan kasih tulus. Hal-hal seperti itu tidak bisa dibayar dengan apa pun. Semuanya berasal dari dalam lubuk hati terdalam seorang manusia.
Velma tidak pernah diadopsi keluarga mana pun. Entah kenapa, tiap kali ada keluarga yang datang berkunjung dan ingin mengambil salah satu anak di panti asuhan bernama Buah Cinta itu, Velma tidak pernah punya kesempatan untuk menunjukkan dirinya. Bunda Mema yang menjadi kepala panti selalu punya alasan untuk memintanya melakukan sesuatu yang cukup menyita waktu. Hingga akhirnya Velma sudah terlalu besar untuk diadopsi dan memilih tetap bertahan di panti.
Setelah dewasa Velma baru mengerti, bahwa Bunda Mema tidak menginginkannya diadopsi. Itu karena Bunda Mema sangat menyayanginya, dan tidak ingin Velma menjauh dari hidupnya. Meski di sisi lain Bunda Mema sendiri tidak pernah secara resmi mengangkatnya menjadi anak, itu tak menjadi masalah bagi Velma.
Bunda Mema selalu lembut dan penuh kasih pada Velma.
Memperlakukannya seperti putri sendiri, perempuan itu selalu berusaha memastikan Velma merasa nyaman dan mendapat yang terbaik. Tentunya dengan standar sebuah panti asuhan yang kebetulan mempunyai banyak pendonor murah hati.
Sekilas, Velma pernah mendengar obrolan singkat antara Bunda Mema dengan Bunda Lusi, sesama pengurus Buah Cinta. Saat itu umurnya tiga belas tahun. Velma baru tahu bahwa Bunda Mema membawa serta dirinya pindah dari panti asuhan lama yang diurusnya ke Buah Cinta.
“Ada terlalu banyak praktik-praktik yang tidak bisa kutoleransi di sana. Panti memiliki sumber dana yang cukup berlimpah, tapi kebutuhan anak-anak tidak terpenuhi dengan baik. Makanan tak cukup bergizi, belum lagi masalah lain. Akhirnya, aku pindah ke sini setelah mempertimbangkan segalanya masak-masak. Bersama Velma. Waktu itu umurnya baru setahun lebih.”
“Kenapa kamu mengajak Velma dan bukan yang lain?” Bunda Lusi ingin tahu.
Velma yang mendengarkan diam-diam dari balik pintu yang sedikit terbuka, menahan napas. Dia juga ingin tahu jawabannya. Karena ini kali pertama Velma mengetahui tentang kepindahannya ke Buah Cinta.
“Velma masih terlalu kecil. Aku tidak bisa meninggalkannya di sana. Selain itu… aku yang menemukannya di depan pintu. Sejak itu, aku sendiri yang mengurus Velma. Aku juga yang memberinya nama.” Tidak ada kalimat tambahan. Namun hingga bertahun-tahun setelahnya, Velma tak bisa melupakan kata-kata itu.
Kian dewasa dia pun makin mengerti kedekatannya dengan Bunda Mema meski tak pernah dilisankan terang-terangan.
Mungkin itu juga yang membuat kemarahan di hati Velma mereda perlahan-lahan seiring usianya. Kemarahan yang berasal dari perasaan tak diinginkan yang begitu menyakitkan.
Sejak tahu dirinya ditelantarkan di depan pintu sebuah panti, hanya dengan bekal selembar foto perempuan cantik.
Jika Bunda Mema dianggap lebih mengistimewakan Velma, mungkin karena pengurus panti itu yang menemukannya. Hingga Bunda Mema merasa punya keterkaitan khusus dengan Velma yang tak bisa dijabarkan dengan gamblang. Velma bukannya tidak tahu bahwa Bunda Mema berusaha untuk tidak terkesan pilih kasih di depan penghuni panti lainnya.
Velma tidak keberatan sama sekali tinggal di panti, di antara saudara senasib dengannya. Jika boleh jujur, Velma memang tidak pernah bisa membayangkan dirinya menetap bersama keluarga asing. Dia telah merasa nyaman hidup bersama anak- anak dan pengurus panti. Berdiam dengan orang-orang yang sudah dikenalnya seumur hidup. Terutama dengan Bunda Mema yang sudah berperan sebagai ibu untuknya.
Akan tetapi, andai bisa dibilang sebagai efek negatif tumbuh besar di panti tanpa ada yang mengadopsi, Velma tidak memiliki sahabat. Semua teman dekatnya seiring waktu mendapat keluarga baru. Begitu teman-temannya meninggalkan Buah Cinta, biasanya komunikasi pun ikut terputus.
Dulu, Velma begitu sedih karena kehilangan orang-orang terdekatnya. Berkali-kali dia mengalami hal itu dalam kurun waktu yang lumayan panjang. Hingga dia menyadari satu hal. Ada baiknya menjaga jarak agar tak pernah benar-benar dekat dengan seseorang. Maka ketika terpaksa harus berpisah, Velma masih bisa menanggung rasa sakitnya. Melanjutkan hidup tanpa benar-benar kehilangan.
Prinsip itu tertanam begitu saja di jiwanya. Buah dari pengalaman yang dikecapnya sendiri selama belasan tahun.
Hingga di usia dewasanya saat ini, Velma tetap berpegang pada prinsip yang sama. Mekanisme pertahanan diri itu membuatnya tak pernah memiliki sahabat. Sedekat apa pun hubungannya dengan orang lain, hanya sebatas teman. Seperti Shirley.
“Kadang aku merasa kamu itu suka menjaga jarak, Sayang. Bahkan denganku. Kamu seolah tidak mau ada orang yang benar-benar mengenalmu,” keluh Evan. Lelaki itu mengutarakan pendapat itu sekitar dua bulan silam. Saat hubungan mereka masih begitu mesra.
“Mungkin karena faktor kebiasaan saja, Van. Aku bisa dibilang besar sendiri di panti dengan teman yang terus berganti. Maksudku, tidak ada teman sebaya yang beranjak besar denganku karena sudah diadopsi sebelum memasuki usia remaja,” Velma membela diri. “Hal itu yang mungkin menumpulkan kemampuan bersosialisasi tanpa kusadari. Kesannya, kadang aku seperti yang kamu bilang tadi, menjaga jarak. Padahal itu bukan kesengajaan.”
Evan mengangguk, mengerti apa yang disampaikan Velma. “Tapi ada baiknya pelan-pelan kamu lebih rileks. Jangan terlalu sering mencemaskan ini-itu. Oke?”
Velma cerdas, tidak ada yang menyangkalnya. Dia berhasil mendapat beasiswa saat kuliah. Itu adalah suatu hal yang tidak berani dibayangkan sebelumnya. Perempuan itu selalu mengira jika bangku sekolah menengah atas akan menjadi tingkat tertinggi yang bisa dirasakannya. Namun Bunda Mema mengupayakan agar pendidikan Velma tidak berhenti hanya setelah menamatkan SMU.
“Kamu sudah dikaruniai Tuhan otak yang luar biasa, Vel! Jangan pernah menyia-nyiakan pemberian itu karena tidak semua orang beruntung memilikinya. Kecerdasan adalah bagian terpenting dalam hidupmu, bukan wajahmu.”
Bunda Mema selalu mengucapkan kata-kata itu di telinga Velma dalam ratusan bahkan—mungkin—ribuan kesempatan. Meyakinkan Velma bahwa dirinya cukup layak untuk mendapat penghargaan. Bunda Mema membuat Velma tidak pernah membanggakan keindahan fisiknya. Velma tumbuh menjadi perempuan yang percaya bahwa kecerdasan adalah hal penting yang pantas diapresiasi.
Sayang, Bunda Mema tidak pernah sempat melihatnya memakai toga dan meraih gelar sarjana. Beliau meninggal dunia hanya empat bulan menjelang wisuda. Tuhan mengambil Bunda Mema pada suatu malam dingin di waktu tidurnya. Tanpa ada tanda-tanda sebelumnya. Tanpa ada keluhan sakit atau ketidakberesan yang mengganggu.
Itu adalah saat-saat yang paling berat bagi Velma. Dia terperangkap dalam kubangan duka yang menakutkan. Belum pernah dia merasa gamang dan tidak berdaya dalam hidupnya seperti saat itu. Dulu, dia selalu memiliki Bunda Mema yang siap memberikan perhatian dan kasih sayang jika mengalami masalah. Bunda Mema juga seolah selalu punya solusi untuk tiap persoalan.
Kini, tiba-tiba perempuan paruh baya yang masih melajang itu dibawa pergi oleh Tuhan. Seakan-akan ada organ di tubuh Velma yang diambil begitu saja lewat operasi menyakitkan tanpa anestesi. Rasa nyerinya sangat mematikan, tapi sama sekali tidak membuatnya sekarat.
Velma pindah dari Jakarta setelah mendapat pekerjaan tak lama usai kelulusannya. Itu berarti dia meninggalkan satu-satunya tempat yang dikenalnya sebagai rumah. Ketiadaan Bunda Mema di dunia—tanpa terduga—membuat langkah Velma kian ringan. Ini saatnya bagi perempuan itu untuk menghadapi dunia sendirian.
Berkarier di bagian keuangan pada sebuah perusahaan pembuat tas fashion terbesar di Bogor, Velma merasa mampu untuk mandiri. Dia bekerja dengan serius, demi memastikan dirinya dapat hidup dengan layak. Empat tahun berlalu, dan Velma mensyukuri setiap hasil kerja kerasnya.
Dia memang belum sampai taraf memiliki rumah sendiri dan hidup tanpa kekurangan. Belum. Sejak berdiam di Bogor, Velma mengontrak rumah berkamar satu. Namun perempuan itu yakin, suatu saat mimpinya akan terwujud. Dia akan tinggal di rumah sendiri yang seumur hidup tidak pernah dimilikinya. Velma cuma harus bekerja keras. Perempuan itu menumpahkan fokus hanya untuk berkarier, menyingkirkan hal lain yang dianggap tidak penting. Termasuk urusan asmara.
Hingga kemudian kehadiran Evan mengubah banyak hal dalam hidup Velma. Jauh di dalam jiwanya, Velma adalah perempuan sejati yang akan tersanjung jika dicintai sepenuh hati. Alasan dia menolak Evan lima tahun silam, perlahan mulai mengabur.
Selain itu, Velma selalu lemah jika berhadapan dengan konsep ‘membangun keluarga’. Dan sepertinya, Evan sangat mengetahui sisi itu. Terbukti, lelaki itu menawarkan poin tersebut saat mereka bertemu lagi. Itulah yang membuat Velma jatuh ke dalam pelukan Evan. Menerima ajakannya untuk membentuk hubungan personal yang lebih dekat sekaligus terikat.