Fallen

Republika Penerbit
Chapter #4

Chapter 3

Makan malam itu ternyata lebih nyaman dibanding perkiraan Velma. Tadinya dia menduga akan segera merasa mual lagi begitu mulai mengisi perut. Tekanan psikis dan harus makan bersama orang asing, rasanya bukan kombinasi yang menyenangkan.

Josh tidak berusaha menutupi rasa senangnya melihat piring Velma nyaris licin, hanya menyisakan sekitar tiga sendok nasi saja. Dia memberi acungan jempol yang—entah kenapa—membuat pipi Velma menghangat. Perempuan itu juga heran, kenapa jumlah makanan yang masuk ke perutnya bisa membuat lelaki itu gembira.

Ini kali pertama Velma makan dengan orang asing.

Sebelumnya, perempuan itu tidak pernah mengizinkan dirinya makan berdua saja dengan orang yang baru dikenal. Bagi Velma, makan tergolong aktivitas yang cukup pribadi. Dia harus cukup mengenal teman makannya.

“Velma, sejujurnya aku tidak mengira jika Evan berencana menikah dalam waktu dekat. Kukira dia baru akan memikirkan soal itu empat atau lima tahun lagi. Dia pasti bahagia sekali karena akan menikah, ya?” Josh mengejutkan Velma dengan pertanyaannya.

Benak Velma mendadak berkabut. Untuk sesaat, dia bingung harus memberi jawaban apa. “Setahuku, dia memang bahagia. Meski tak yakin soal kadarnya,” balas Velma akhirnya, tanpa gairah. Lalu mendadak dia terkenang apa yang ditemukannya di rumah Evan hari itu. Hari di mana mereka bertengkar dengan hebatnya.

“Sudah berapa lama kalian tidak bertemu?” tanya Velma. Mengalihkan benaknya dari memikirkan memori pahit itu.

“Hmm...” Josh tampak berpikir. Tidak seperti umumnya kaum lelaki yang dikenal Velma, Josh berpikir tanpa mengerutkan kening. Tidak memancing kerut halus di sana, menentang kebiasaan yang dilakukan manusia kebanyakan tanpa sadar sepenuhnya.

“Mungkin dua tahun setengah. Aku memang sudah tidak pulang ke Indonesia selama itu. Evan juga tidak pernah mengunjungi Jerman lagi beberapa tahun belakangan ini.”

“Oh.” Velma ingat, dulu dia sangat ingin bisa melihat Jerman. Terutama Kota Stuttgart, sejak melihat film Independence Day di salah satu episode masa kecilnya. Bukan karena apa yang ada di film itu, melainkan orang yang berada di baliknya.

Entah kenapa, Velma terpesona pada sang sutradara, Roland Emmerich yang lahir di Stuttgart. Dia sangat ingin tahu atmosfer kota kelahiran Herr Emmerich.

“Apa kamu akan segera kembali ke Jerman?”

“Tidak. Aku akan menetap di sini.”

Ini berita baru. Menurut Evan, Josh tidak pernah berkeinginan kembali ke tanah air lagi, telanjur betah di negerinya Hitler. “Evan pernah bilang bahwa kamu tidak mau kembali ke sini,” gumam Velma, tak bisa menahan diri.

Josh mendesah pelan. Dia membukakan pintu mobil untuk Velma. Saat itu, mereka sedang bersiap untuk meninggalkan restoran.

“Tadinya.” Josh tidak bicara apa-apa lagi, membuat Velma kehilangan keberanian untuk mengulas topik yang sama. Lagi pula, biarlah itu menjadi urusan Josh saja. Dirinya tidak ada sangkut pautnya dengan keputusan apa pun yang dibuat lelaki itu.

“Aku pasti akan merindukan Evan,” suara Josh dilumuri rasa terluka yang menyedihkan.

“Aku juga,” akhirnya hanya kata-kata itu yang dirasa Velma paling aman untuk diucapkan.

Di sisa perjalanan, mereka berdua berbagi kenangan akan Evan. Velma tidak banyak membuka mulut, dia lebih memilih mendengarkan kata-kata kenalan barunya. Josh menceritakan kehidupan mereka saat tinggal di Berlin dan menuntut ilmu di Technische Universitat Berlin.

“Aku lebih tertarik biologi dan Evan di otomotif. Jerman salah satu yang terbaik untuk itu. Tapi aku hanya bertahan selama setahun di jurusan biologi. Selanjutnya, aku pindah jurusan, mempelajari arkeologi. Saat kami bersekolah di sana adalah masa paling menyenangkan dalam hidupku. Tidak semua orang mendapat kesempatan untuk bersekolah di luar negeri, di jurusan impian, ditemani oleh sahabat.”

Mungkin di benak Josh bermain aneka gambar saat mereka di luar negeri. Lelaki itu lancar bercerita, sementara Velma tak menyela sekali pun. Dia justru fokus pada hal lain, yakni sosok sang pencerita.

Suara lelaki di sampingnya itu berat dan rendah. Menimbulkan dampak aneh ke sekujur tubuh Velma.

Dia menyukai suara Josh, entah untuk alasan apa. Velma sungguh merasa, sahabat Evan itu memiliki pesona terbaik pada suaranya. Bahkan penampilan fisik Josh tidak mampu mengimbangi hawa magis yang dihasilkan oleh pita suaranya.

Setidaknya, itulah yang dipikirkan Velma. Meski kemudian perempuan itu merasa jengah dengan pikirannya yang aneh itu.

“Kamu mual lagi?” tanya Josh di suatu ketika. Perhatian kecil itu terasa mengejutkan sekaligus menghangatkan hati Velma dengan misterius.

“Tidak,” balasnya pendek. Velma lalu meminta Josh berbelok ke kanan karena mereka sudah sampai.

Josh tercengang saat mereka tiba di tempat tinggal Velma.

“Kamu mengontrak rumah? Sendirian?”

Velma mengangguk sambil tersenyum geli untuk pertama kalinya dalam tiga minggu ini. “Ya, kenapa? Ekspresimu menunjukkan kalau pilihanku ini sangat mengerikan.”

Josh tertawa kecil. “Bukan mengerikan, sih, tapi....”

“Apa?”

“Tidak apa-apa,” Josh mengelak.

Ketika menutup pintu mobil dan berbalik, Velma merasakan jantungnya berdegup menggila. Kini, dia berhadapan dengan Josh yang berdiri menjulang di depannya.Lalu, sebuah tawaran meluncur begitu saja tanpa dipikir lebih dulu. “Apa kamu suka cokelat?”

Ketika Josh tersenyum, matanya tampak berbinar. “Kalau kamu tidak merasa keberatan menerima tamu semalam ini,” cetusnya.

“Tentu saja tidak,” balas Velma cepat. “Ayo!” Velma berjalan di depan.

Lihat selengkapnya