Fallen

Republika Penerbit
Chapter #5

Chapter 4

Velma memeriksa ponselnya. Dia menghela napas panjang yang terdengar berat, bahkan untuk telinganya sendiri. Ada empat belas panggilan tak terjawab yang berasal dari Aara.

Tebakan Velma, Aara ingin tahu alasan ketidakhadirannya di acara takziah.

Berhadapan dengan sisa-sisa kenangan yang mengingatkannya pada Evan adalah hal terakhir yang dibutuhkan Velma. Dia sungguh tidak mampu lagi bersandiwara. Ambang batasnya sudah terlewati. Velma yakin, dia tidak hanya sekadar muntah jika nekat melakukan itu. Mungkin dia bahkan akan mati, karena menanggung rasa mual yang menyakitkan.

Tidak ingin menjadi pengecut, Velma akhirnya berinisiatif menghubungi Aara. Dia masih ingat betapa berbintangnya bola mata perempuan itu saat Velma dan Evan mengabarkan bahwa mereka akan mempersiapkan pernikahan dalam satu tahun ke depan. Aara mungkin orang yang paling bahagia selain Velma saat mendengar rencana masa depan kakaknya.

Aara langsung menjawab panggilan teleponnya pada dering kedua. “Velma, apa kamu baik-baik saja?”

“Aku baik-baik saja, Ra,” Velma menjawab dengan sopan.

Nada suara Aara dipenuhi pemohonan maaf saat perempuan itu bicara. “Aku sibuk sekali, sehingga tidak sempat melihatmu. Selain itu, tidak ada orang yang bisa kumintai tolong untuk melihat keadaanmu. Aku benar-benar mencemaskanmu, Vel. Apalagi... kamu tidak datang dua malam terakhir ini.”

Velma meringis tanpa suara. Matanya terpejam, dan bersyukur rasa sakit di dadanya sudah mendekati nihil. Dia sangat berharap semoga semuanya bisa lenyap dan tidak meninggalkan bekas sama sekali. Akan tetapi, itu sepertinya harapan yang terlalu berlebihan. Keinginan yang mustahil.

Velma tahu, ada jejak gelap nan muram yang akan selalu mengingatkannya pada Evan. Mau tidak mau, dia harus menjalani itu dengan hati tabah.

“Aku tidak apa-apa. Aku bisa bertahan, jadi kamu tidak perlu cemas.” Velma meragu untuk sesaat. Sebelum keberaniannya lenyap, perempuan itu membuka mulutnya lagi. “Tapi aku mohon maaf. Aku benar-benar tidak bisa ke rumah Evan lagi. Aku tidak sanggup...”

Velma akhirnya memilih untuk jujur meski demi alasan yang berbeda. Aara pasti akan mengerti, kendati bukan karena fakta yang sesungguhnya. Dan keyakinan Velma memang terbukti.

“Aku tahu. Dan aku tidak akan memaksamu. Aku cuma ingin memastikan keadaanmu.” Aara memang baik. Velma sangat berharap punya kesempatan memiliki saudara ipar seperti dia. Sayang, itu akan menjadi kemustahilan selanjutnya.

“Terima kasih, Ra. Kamu sangat pengertian,” Velma akhirnya terisak tanpa dikehendaki. Hatinya tersentuh oleh perhatian dan ketulusan Aara. Velma dalam kondisi rentan, mudah terharu karena hal-hal sederhana. Dia hanya tidak memperhitungkan kepanikan yang menjadi efek dari suaranya yang mengandung tangis barusan.

Aara nyaris berteriak dan berusaha menenangkannya mati-matian. Velma makin sedih. Aara sepertinya kian yakin bahwa Velma sangat terpukul dengan kematian Evan. Perempuan itu berusaha sangat keras untuk membuat Velma merasa lebih kuat dan tidak sendirian.

Setelah perbincangan di telepon yang akhirnya menghabiskan waktu hampir setengah jam itu, Velma benar-benar merasa lelah. Dia sampai terduduk di ruang loker dan terdiam beberapa saat. Beberapa karyawan yang keluar-masuk di sana memperhatikannya dengan iba dan penuh pengertian. Mereka meributkan keputusannya untuk bekerja, padahal kekasihnya baru dikuburkan dua hari yang lalu.

Velma sungguh benci dikasihani. Sejak lahir menjalani hidup yang menurut mata awam jauh dari ideal, hal terakhir yang dibutuhkannya adalah mendapatkan belas kasih dan rasa iba. Velma memilih untuk dicintai, jika memang itu memungkinkan. Baginya, iba hanya melemahkan.

Percakapan dengan Aara membuat Velma mulai berpikir untuk mengganti nomor ponselnya. Juga kemungkinan untuk mencari tempat tinggal baru. Velma ingin memutus rantai apa pun yang menghubungkannya dengan Evan. Dia tidak akan sanggup bila Aara terus berada di sekitarnya dan mengingatkan Velma akan kehadiran Evan. Velma ingin hari-hari di depannya diminimalisir dari pengaruh Evan.

Bersiap kembali ke ruangannya, perempuan itu akan dihadapkan pada setumpuk laporan yang harus diperiksa dengan detail. Dia bersyukur ada sederet angka yang membutuhkan konsentrasi dan membuatnya tak sempat memikirkan Evan. Itulah sebabnya dia memilih berkantor seperti biasa ketimbang menghabiskan waktu di kamar. Dia tidak punya waktu untuk berduka karena kematian Evan.

Velma bekerja di sebuah perusahaan tas bermerek Stylish! yang sudah berdiri sejak dua dekade silam. Sedari pagi Velma sudah mengecek bermacam piutang yang harus ditagih kepada pihak ketiga berdasarkan laporan yang dibuat oleh bagian akunting. Beberapa di antaranya sudah mendekati jatuh tempo.

Usai menelepon Aara dan melewatkan jam makan siang dengan hanya menyantap semangkuk bubur ayam yang tak dihabiskan, Velma kembali ke mejanya. Kali ini, dia harus menyiapkan sejumlah transaksi untuk menutup tagihan yang menjadi kewajiban Stylish!. Jumlah terbesar akan dialokasikan untuk membayar aneka bahan baku pembuatan tas yang dipesan dari pemasok.

“Tampaknya tas berbahan satin dan leather masih akan terus berjaya,” gumam Velma, lebih ditujukan kepada diri sendiri. Betapa tidak? Sejak satu semester terakhir, angka penjualan tertinggi dipegang oleh minaudiere bag berbahan satin dan canteen bag kulit.

“Jangankan orang awam. Aku pun yang setiap hari melihat sendiri ratusan model tas, tetap tergiur untuk membeli keduanya. Siapa suruh begitu menggemaskan?” timpal Letty, salah satu karyawati bagian akunting.

Velma menoleh ke kanan, tersenyum lebar ke arah temannya. “Padahal kedua tas itu menurutku kurang praktis. Ukurannya terlalu kecil, hanya bisa menampung ponsel dan dompet. Cuma pas untuk bergaya saja.”

“Itu pun harus dompet berukuran standar,” Letty menukas.

“Tapi memang desain keduanya cukup unik dan cantik.”

“Ya. Tren terkini yang memang sedang popular.” Letty mendekat ke meja Velma. Suaranya terdengar agak pelan ketika dia bicara. “Aku yakin, kamu pasti sudah bosan mendengar pertanyaan semacam ini. Aku cuma ingin tahu, apa kamu baik-baik saja, Vel?”

Velma mendongak lagi. “Kalau yakin aku bosan, kenapa nekat bertanya, sih?” guraunya. Perempuan itu tersenyum tipis. “Aku baik-baik saja, jangan cemas. Aku harus bekerja supaya tetap sibuk dan tak sempat berpikir macam-macam,” akunya.

Letty mengangguk penuh pengertian. Sebelum kembali ke mejanya, perempuan itu meremas bahu kanan Velma sekilas. “Baguslah kalau begitu.”

Minaudiere bag adalah tas pesta bertekstur keras karena terbuat dari rangka stainless steel. Ada hiasan manik-manik untuk mempercantik penampilan tas tersebut. Sementara canteen bag merupakan tas berukuran kecil yang berbentuk lingkaran dengan tali panjang. Kedua produk tersebut menjadi primadona di toko-toko Stylish! yang tersebar di wilayah Jabodetabek.

Sepeninggal Letty, Velma berjuang kembali berkonsentrasi pada pekerjaannya. Besok dia harus membayar lunas semua tagihan yang sudah jatuh tempo. Sesekali, perempuan itu mengangkat wajah sembari memijat leher belakangnya yang terasa pegal, sembari menatap ke luar jendela. Dari ruangannya yang berada di lantai tiga, Velma leluasa melihat ke arah jajaran kios-kios berdesain unik yang menjual aneka makanan.

Velma bekerja di toko terbesar Stylish! yang merangkap kantor perusahaan itu dan menempati area sangat luas.

Tidak cuma membangun ruang pamer dua lantai yang selalu dipenuhi pengunjung, Stylish! juga memiliki halaman parkir yang lapang. Tak hanya itu, perusahaan tas yang cukup ternama tersebut juga membangun arena permainan meski menawarkan wahana terbatas. Ada pula puluhan penjual makanan yang menyiapkan aneka menu jajanan favorit.

Perempuan itu mulai menyadari, belakangan ini dia gampang lelah. Mungkin karena terpengaruh oleh masalah yang susul-menyusul bagai gelombang pasang. Namun Velma tahu dia harus memaksakan diri untuk menuntaskan pekerjaannya hari ini. Perempuan itu meraih gelas berisi air putih miliknya, menandaskan isinya sebelum kembali bekerja.

Kesibukan sudah menyelamatkan hidup Velma. Seminggu setelah pemakaman Evan, Velma keluar dari kantornya pukul setengah enam sore. Dia menyempatkan diri mampir ke supermarket untuk membeli roti, mentega, dan cokelat beras, meski sebenarnya Velma lebih suka segera pulang dan membaringkan tubuhnya yang terasa lelah lahir batin. Dia baru tiba di rumah kontrakannya yang sepi hampir pukul tujuh.

Velma terkesima menyaksikan sebuah mobil SUV terparkir di halaman. Sepertinya dia tahu siapa yang datang, karena baru seminggu yang lalu Velma berada di dalam mobil itu. Dia segera melihat seorang lelaki sedang bersandar di samping mobil dengan kaki disilangkan. Velma menatapnya nyaris tak berkedip. Cemas jika pemandangan di depannya itu hanya ilusi optik.

“Aku rasa sudah terlalu banyak orang yang menyebutmu mirip Jang Dong Gun, kan?” tukas Velma sambil melewati lelaki itu.

Yang disapa tampak terkejut. “Apa kabar, Josh?”

“Kamu bisa mengenaliku? Dan siapa Jang Dong Gun itu?” Suara yang berat dan rendah itu makin mustahil untuk diabaikan.

Velma tertawa geli. “Tentu saja aku tahu, Josh. Kumis dan cambang tidak membuatmu benar-benar terkamuflase. Meski harus kuakui kalau kamu memang lebih bagus tanpa itu. Setelah bercukur, kamu tampak lebih muda,” katanya lancar. “Silakan masuk,” Velma membentangkan pintu setelah berkutat dengan kunci.

“Jang Dong Gun itu aktor Korea. Sudah melewati puncak popularitas, sih. Hmm... kalau melihat reaksimu barusan, sepertinya aku orang pertama yang menyebut nama itu di depanmu.”

Josh mengekor tanpa bicara. Velma langsung menuju kamar dan selama hampir satu menit harus memegangi dadanya yang terasa hampir pecah. Jantungnya berdegum-degum dengan misterius dan membuat darah terasa menderu di kedua telinga perempuan itu. Ini reaksi aneh yang seingat Velma tidak pernah dialaminya hanya setelah melihat seorang pria dewasa tampil rapi usai bercukur. Ada apa dengan dirinya? Velma curiga, ini semacam gejala awal dari penyakit berbahaya yang dideritanya.

Lihat selengkapnya