Velma bereaksi seakan baru saja melihat Josh mengunyah piring porselen yang berada di atas meja. Lelaki itu tidak terpengaruh dengan ekspresi Velma yang luar biasa. Dia tetap menambatkan pandangannya pada kedua bola mata Velma dengan tenang. Tidak ada tanda-tanda dia akan menuntut jawaban segera. Josh bahkan bersikap seakan dia sedang menunggu ledakan kata-kata dari bibir mungil perempuan di depannya.
“Josh... kamu sedang tidak sehat, ya? Apa kita harus ke dokter? Tapi... aku tidak bisa menyetir. Atau... kita mungkin harus memakai taksi online saja?” kata-kata Velma keluar tak terkendali.
Josh tersenyum sabar. “Velma, aku baik-baik saja. Aku sangat sehat, tidak punya keluhan, dan masih sangat mampu menyetir berjam-jam lagi.”
Velma menggeleng. Seakan dengan begitu segala kekalutan yang sedang bermain di benaknya bisa ikut rontok ke bumi. Perempuan itu meraih gelasnya lagi dengan tangan gemetar saat menyadari isinya sudah kosong. Dengan penuh pengertian Josh menyodorkan jus wortel miliknya yang belum tersentuh.
“Minum punyaku saja.”
Velma sedang tidak memiliki keinginan untuk mendebat. Dia menghabiskan setengah isi gelas jus itu seakan sedang sangat kehausan. Velma berjuang untuk menetralkan seluruh isi dadanya yang mendadak bergolak tergulung badai.
Meredakan napasnya yang memburu dan jantungnya yang mengancam akan meledakkan diri.
“Velma, apa kamu baik-baik saja?” tanya Josh cemas. “Bicaralah. Apa saja. Rasanya... aku lebih bisa menerima kalau kamu mengejekku ‘gila’ ketimbang hanya diam seperti ini. Setidaknya, aku punya kesempatan untuk membela diri.”
Velma tidak serta-merta menurut. Dia malah berusaha memandang ke berbagai penjuru, seakan sedang mencari sesuatu yang bisa dijadikan pegangan atau tambahan kekuatan.
Pipinya terasa dingin. Velma menarik tangannya dari atas meja, membiarkan jari-jarinya yang gemetar saling meremas di atas pangkuan. Hal yang jauh lebih baik karena jauh dari pengawasan Josh. “Aku... sepertinya ini saat teraneh dalam hidupku,” kata Velma dengan pipi terasa beku. Mungkin saat ini wajahnya berubah manai.
Josh meringis. “Kamu benar-benar kaget, ya? Melihatmu begitu pucat, aku jadi merasa sangat bersalah,” akunya jujur.
“Kamu jangan pernah lagi mengucapkan kata-kata seperti itu kepada seorang perempuan. Itu kesalahan besar,” kata Velma asal-asalan.
Josh membuat bantahan dengan segera. “Terdengar aneh, aku setuju. Tidak masuk akal, mungkin. Salah? Sama sekali tidak.”
Perut Velma kembali bergolak di saat yang sangat tidak tepat. Namun perempuan itu berusaha bertahan agar tidak muntah. “Bagiku tetap saja salah. Aku... aku tidak mau membicarakan masalah ini lagi, Josh. Aku ingin pulang. Sekarang.”
Josh seakan tidak mendengar permintaan itu. “Velma, bisakah kita membahas semuanya dengan kepala dingin? Menurutku, ini hal serius yang tidak bisa diabaikan begitu saja.”
Velma mengerang pelan. “Ini cuma lelucon konyol yang salah tempat. Tidak ada yang perlu dibicarakan lagi.”
Josh menggeleng, tegas. “Aku tidak pernah membuat lelucon seputar pernikahan.”
“Oh, benarkah? Lalu, kalau bukan lelucon, menurutmu ini apa?” Velma memegang kedua pipinya yang terasa makin dingin.
“Ini ajakan serius. Sangat serius, malah. Kamu memang belum mengenalku dengan baik. Tapi aku bisa jamin, aku bukan laki-laki jahat. Aku tidak akan menyiksamu kalau kita menikah. Aku akan menjaga dan merawatmu sebagaimana mestinya,” balas Josh lancar.
Kata-kata Josh membuat Velma seakan terlempar kembali ke masa lalu. Dia terkenang pada rencana pernikahannya dengan Evan yang sudah hancur. Velma tidak tahan lagi dan memaksa Josh mengantarnya pulang. Sepanjang perjalanan, mereka membisu. Josh sebenarnya berusaha membuat Velma membuka mulut, tapi perempuan itu memilih menoleh ke kiri dengan mulut terkunci.
Namun Josh tampaknya bukan orang yang mudah menerima penolakan. Besoknya, dia datang lagi. Meski kali ini gagal mengajak Velma keluar, Josh tidak menyerah untuk membicarakan ajakan gilanya.
“Velma, kita punya situasi yang harus dibereskan. Aku sangat yakin, menikah adalah solusi yang tepat.” Kata-kata Josh membawa Velma pada kekinian, bahwa lelaki itu sepertinya memang serius mengajaknya menikah.
Dia mengerjap dan menantang mata Josh.
“Kita? Aku tidak melihat kamu dan aku memiliki masalah serius. Apa yang bisa menjadi masalah untuk dua orang yang baru bertemu tiga kali? Dan aku masih ingat jawabanmu saat kutanya tentang status pernikahanmu. Kesanku, kamu tidak tertarik pada kehidupan berumah tangga. Evan... juga pernah mengatakan itu,” Velma nyaris terbatuk saat menyebut nama itu. “Lalu, apa ada hal luar biasa yang terjadi selama beberapa hari ini sampai kamu berubah pikiran dan seenaknya mengajak perempuan asing untuk menikah?” Velma yakin kata-katanya membuat Josh tampak malu.
Namun sepertinya itu tidak cukup kuat untuk membuat lelaki itu meminta maaf dan membuat pengakuan bahwa dia sudah melantur dengan sangat keterlaluan.
“Oke, mungkin pilihan kata yang kugunakan tidak benar- benar bijak. Aku memang bukan orang yang pintar bicara manis. Yang jelas, ada beberapa hal yang membuat kita pantas memikirkan pernikahan. Kamu dan aku sedang tidak punya pasangan, tidak sedang terikat pada siapa pun. Nah, apa salahnya kalau kita berdua menikah?”
Suara Josh begitu tenang, seakan sedang membicarakan tentang ayam goreng cepat saji yang menjadi menu kesukaan anak-anak di dunia. Velma ingin menembak kepalanya sendiri saking gemasnya.
“Itu alasan paling mengerikan yang pernah kudengar. Sejak kapan orang yang tidak punya pasangan memilih menikah hanya karena alasan itu? Ya ampun, Josh! Makin lama obrolan kita makin tidak masuk akal.”
Josh menghela napas. Lelaki itu meminum cokelat yang disuguhkan Velma. Perempuan itu bersyukur karena mereka berada di ruang tamunya. Mungkin Velma akan menyuruh Josh pulang dan membanting pintu di depan hidung lelaki itu jika sudah tidak tahan lagi. Di tempat tinggalnya, dia punya kendali.
“Aku tahu, tawaranku bukan sesuatu yang masuk akal, yang bisa diterima dengan mudah. Kamu pasti kesulitan menerima alasanku.” Josh mengangkat wajah dan memandang lurus ke arah Velma. “Tapi aku tetap ingin kamu memikirkan ini dengan serius. Kurasa--”
“Sebentar Josh! Biarkan aku lebih memahami masalah ini dulu.” Velma menukas cepat. Dadanya makin terasa nyeri. “Apa motivasimu? Aku tidak sampai patah hati luar biasa karena kematian Evan. Aku masih waras dan bisa berpikir jernih. Aku tidak akan bunuh diri, kalau itu yang kamu cemaskan. Jadi, kamu tidak perlu menjadi penyelamatku karena pada dasarnya aku tidak butuh bantuan. Oke, Evan memang sudah tidak ada dan kami batal menikah. Tapi bukan berarti aku hancur hingga ke tulang. Aku bisa bertahan.” Velma berusaha keras agar suaranya tidak naik satu oktaf sehingga bisa memancing keingintahuan penghuni kontrakan di sebelahnya.